- Sepak bola, termasuk di Indonesia, erat kaitannya dengan kaum buruh atau kelas pekerja harian.
- Buruh ada dalam kisah sepak bola Indonesia dan jadi bagian penting untuk terselenggaranya pertandingan.
- Sebagai suporter, buruh tidak sepantasnya dianggap sebagai biang kericuhan sepak bola Indonesia.
SKOR.id - Sepak bola, termasuk di Indoensia, erat kaitannya dengan buruh. Bahkan, bisa dibilang sepak bola menjadi bernyawa karena dihidupkan buruh.
Sejak kelahirannya di Inggris, sepak bola menjadi alat perjuangan dan hiburan kaum buruh, seperti juga klub Indonesia, yang lahir sebagai alat perjuangan.
Sejatinya, kisah kelas buruh dalam sepak bola belum ditemukan secara terperinci awal mulanya, meski sudah didalami oleh berbagai kalangan dan pakar.
Baca Juga: Bek Sayap Borneo FC Berdarah Brasil Rindu Armosfer Liga Indonesia
Dalam buku "The Communist Uprising of 1926-1927 in Indonesia" karya Harry J. Benda dan Ruth McVey, yang disadur Zen RS, diceritakan soal buruh dan sepak bola.
Disebutkan bahwa sekitar tahun 1927, berdiri sebuah kesebelasan bernama LONA. Markas mereka berada di Pasar Pariaman, Sumatera Barat.
Dalam buku "Simulakra Sepak Bola" karya Zen RS itu, disebutkan bahwa LONA begitu dekat dengan nama kesebelasan Sutan Sjahrir ketika masih bersekolah di Bandung.
Selanjutnya, sepak bola dan kaum buruh begitu erat kaitannya ketika era kompetisi Liga Sepak bola Utama (Galatama) dihelat pada 1979.
Klub-klub yang berbasis industri seperti Semen Padang FC, Petrokimia, atau Pardedetex, Barito Putera, memakai para pekerjanya untuk membela tim.
Dalam era Perserikatan, yang dianggap lebih riuh ketimbang Galatama dan sudah lebih dulu hidup, juga bersenyawa dengan kelas pekerja atau buruh.
Pertandingan-pertandingan Perserikatan menjadi perhatian kaum buruh. Mereka menjadikan sepak bola sebagai hiburan selepas bekerja mencari nafkah.
Karenanya, muncul istilah di hampir seluruh penjuru dudia, sepak bola bersenyawa dan dihidupkan oleh buruh. Dalam hal ini buruh identik dengan suporter.
Sejatinya tak ada spesialisasi bahwa suporter adalah kaum buruh, tetapi tak bisa dimungkiri yang dominan memenuhi tribune adalah para pekerja kelas bawah dan tengah.
Sayangnya, konotasinya suporter acap kali negatif. Kelas buruh kerap dipandang sebagai biang kericuhan dengan alasan yang tidak mendasar, yakni pendidikan.
Kaum buruh sering kali dicap sebagai orang yang tidak memiliki intelektual tinggi, dan karena itu kerap menjadi sumbu dari kericuhan sepak bola.
Sepak bola Indonesia contohya, sangat khas dengan pertikaian dan kericuhan yang sebagian besar di antaranya tercipta karena gesekan antarsuporter.
Baca Juga: Aturan Pergantian Lima Pemain, Ini Sikap dari Operator Liga Indonesia
Bahkan boleh jadi kaum buruh adalah penggemar yang memperlihatkan rasa aman dan nyaman ketika menyaksikan pertandingan.
Sebab, mereka hadir menonton sepak bola untuk mendapatkan hiburan, untuk bersantai melepas penat setelah lelah bekerja.