- Sejak gerakan reformasi 1998, ada delapan sosok yang memimpin PSSI.
- Dari kedelapan sosok itu, Nurdin Halid memimpin PSSI dalam dua periode.
- setelah era Agum Gumelar agenda kompetisi selalu menjadi polemik PSSI.
SKOR.id - "Jangan menua tanpa prestasi," tulis Fasha Mahmud dalam tautan akun media sosial federasi yang memperingati hari jadi PSSI ke-90, Minggu (19/4/2020).
Sejak didirikan pada 1930, khususnya selama dua dekade terakhir, PSSI lebih banyak menghadirkan drama, yang itu dibuat para pengurusnya.
Ada delapan tokoh yang memimpin PSSI selepas reformasi setelah 1998. Dari kedelapannya, Nurdin Halid memimpin paling lama dan La Nyalla Mattalitti paling singkat.
Baca Juga: 90 Tahun PSSI: Kisah Pembentukan Skuad Pertama Timnas Indonesia
Delapan tokoh itu adalah Agum Gumelar (1999-2003), Nurdin Halid (2003-2011), Djohar Arifin Husin (2011-2015), dan La Nyalla Mattalitti (2015-2016).
Selanjutnya ada Edy Rahmayadi (2016-2019), lantas dilanjutkan wakilnya Joko Driyono (Januari-Maret 2019), setelah itu digantikan Iwan Budianto (Maret-November 2019).
Adapun Mochamad Iriawan terpilih dalam kongres di Jakarta pada November 2019. Purnawiran polisi ini akan memimpin PSSI hingga 2023.
Bagaimana kondisi PSSI dalam kepemimpinan delapan tokoh tersebut? Berikut catatan Skor.id yang dihimpun dari berbagai sumber online, buku, dan koran.
Agum Gumelar
Mantan Komandan Komando Pasukan Khusus (Dankopasus) ini terpilih menggantikan Azwar Anas yang mengundurkan diri karena tragedi sepak bola gajah di Piala Tiger 1998.
Ketika terpilih, Agum dipercaya (almarhum) Abdurrahman Wahid, Presiden RI ketiga, sebagai Menteri Perhubungan yang lantas menjadi Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi.
Semasa dipimpin Agum, PSSI kembali punya wibawa, setidaknya untuk pentas Piala AFF, walau tak meraih prestasi. Adapun di pentas Asia lolos ke Piala Asia 2000.
Terkait kompetisi, berjalan cukup stabil. Kehadiran Agum membuat kompetisi musim 1999-2000, 2001, 2002, dan 2003 berjalan lancar.
Bahkan, tak ada bentrokan antara agenda kompetisi dengan kalender FIFA. Pada 2001 bahkan peringkat Indonesia di FIFA menembus urutan ke-87.
Nurdin Halid
Saat terpilih menggantikan Agum, Nurdin masih menjabat sebagai anggota DPR RI. Sayangnya, baru setahun memimpin, Nurdin jadi tersangka penyelundupan gula impor.
Nurdin sempat mendekam di pejara tetapi akhirnya bebas dari tuntutan di pengadilan. Namun, Nurdin tersandung kasus korupsi minyak goreng Bulog.
Dalam kasus kedua ini Nurdin divonis dua tahun penjara. Naasnya, Nurdin tetap memimpin PSSI dari balik jeruji. Bahkan ia terpilih untuk masa kepemimpinan periode kedua.
Dalam bidang kompetisi, agenda timnas Indonesia kerap bentrok dengan agenda kompetisi. Pada masa Nurdin pula lahir Indonesia Super League (ISL).
Bahkan, warisan kebijakan kompetisi ini masih berlanjut hingga musim 2019, di mana agenda timnas terus bentrok dengan jadwal kompetisi.
Djohar Arifin
Terpilihnya Djohar pada 2011 sejatinya diharapkan banyak orang, sebab menjatuhkan Nurdin butuh perjuangan keras, panjang, dan melelahkan, termasuk dari suporter.
Sayangnya, ada motif politik dalam kepemimpinan Djohar, yang akhirnya membuahkan Indonesia Premier League, sementara ISL tetap berjalan.
Dualisme kompetisi ini merusak banyak tatanan, termasuk sulitnya klub mendapatkan sponsor. Dampaknya, kasus penunggakan gaji meningkat pesat.
Timnas Indonesia pun ikut terbelah. Pemain-pemain ISL tidak diperkanankan membela timnas untuk ajang Pra Piala Dunia 2014 dan Piala AFF 2012.
Pada periode Djohar peringkat Indonesia di FIFA terjun bebas, yakni peringkat ke-161 atau yang terburuk saat itu dalam sejarah sepak bola Indonesia.
La Nyalla Mattalitti
Naik takhtanya La Nyalla diselimuti banyak desas-desus. Ada yang mengatakan ia naik karena melakukan tekanan kepada calon lainnya, walau tak terbukti.
Bahkan, setelah empat hari resmi jadi Ketua Umum PSSI, Kemepora RI membekukan PSSI, yang berujung pada jatuhkan pembekuan dari FIFA.
Kompetisi yang baru berjalan tiga pekan berjalan pun terpaksa dihentikan dengan status kahar atau force majeure. Kerugian besar dialami klub dan pemain.
Pada saat yang sama La Nyalla dijadikan tersangka kasus hukum. Ada yang menyebut ini kriminalisasi, buntut dari kisah sebelumnya dan tahun politik.
Karena kondisi ini, akhirnya dilangsungkan kongres pemilihan lagi pada 2017. Tak lama seusai kongres, La Nyalla dinyatakan bebas dari kasus hukum.
Edy Rahmayadi
Kembalinya sosok TNI ke dalam tubuh PSSI membawa harapan baru. Apalagi saat itu Edy Rahmayadi masih menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD.
Edy lantas memilih Luis Milla sebagai pelatih timnas Indonesia dan disusul mengubah nama kompetisi Liga 1 dan lahir buku Filosofi Sepak Bola Indonesia (Filanesia).
Kompetisi usia muda pun dijalankan, Liga 1 U-15 dan Liga 1 U-18. Kursus lisensi kepelatihan AFC serta kursus wasit digencarkan. Hal ini menjadi gebrakan paling menonjol.
Sayang Edy kemudian mundur karena terpilih menjadi Gubernur Sumatera Utara. Ia lantas digantikan Joko Driyono, wakilnya, yang kemudian tersangdung kasus hukum.
Tampuk kepemipinan lantas dipimpin Iwan Budianto. Pergantian tampuk kepemimpinan ini membuat gangguan dalam organisasi serta kiprah timnas.
Mochamad Iriawan
Ini kali pertama polisi menjadi petinggi PSSI. Sebelum naik takhta, Iriawan berjanji banyak; yang paling populer menaikkan subsidi kontestan liga hingga Rp15 miliar.
Sayangnya, dalam Liga 1 2020 hal tersebut tak terealisasi. Janji populer lainnya adalah membangun kawasan pusat sepak bola dan kantor PSSI yang baru.
Untuk hal kedua ini, tanda-tanda pembangunannya belum terlihat. Karena belum setahun, belum ada yang bisa dibuktikan dari janji tersebut.
Baca Juga: 90 Tahun PSSI: Mantan Pemain Timnas Indonesia yang Jadi Ketum PSSI
Mengenai kompetisi, sejatinya jadwal sudah disusun lebih baik dari era sebelumnya, di mana tak ada lagi bentrokan agenda internasional dengan jadwal liga.
Sayangnya, ada wabah virus corona. Kompetisi pun terpaksa ditunda sementara hingga 29 Mei. Setelah itu baru akan diputuskan kelanjutan liga.