- Tulisan Ini adalah jurnal perjalanan wartawan Skor.id yang berada di Kota Wuhan.
- Rangkaian tema "Pulang karena Corona" akan menceritakan proses evakuasi, observasi, dan kepulangan WNI.
- Masa pemindahan WNI menuju Natuna terasa mirip kisahnya dengan pengalaman dalam permainan PUBG.
SKOR.id – Langkah 238 pasang kaki bergemuruh di garbarata menuju Batik Air yang parkir di Terminal 3 Bandara Tianhe Wuhan, China, Minggu (2/2/2020).
Suasana terasa sangat pengap, sangat kontradiktif dengan catatan enam derajat celsius yang tercatat di aplikasi perkiraan cuaca.
Tak hanya dingin yang menyelimuti tubuh pada awal Februari ini, tapi juga perasaan kalut, campuran dari senang, was-was, juga rindu.
Hingga akhirnya badan kami meleleh haru, mendengar sebait kalimat seruan kapten lewat pengeras suara.
“Selamat datang di penerbangan Batik Air, penerbangan ini akan membawa anda kembali ke tanah air.”
Pukul 8.45 WIB – Bandara Hang Nadim, Batam
“Mi, sudah mau mendarat, ke kamar mandi dulu gue,” ucap Joshua, rekan sekampus di Wuhan University yang duduk di samping kiri saya.
Saya yang masih tidur sebelumnya terkaget, rasa lelah membuat saya tak sadar sudah berada di atas perairan Indonesia.
Usai Joshua keluar, layar interactive pad di depan saya menunjukkan pesawat kami sudah sangat dekat dengan Batam.
Namun, sebagian besar dari kita masih lelap karena cukup kelelahan.
Kami sadar, sudah ada banyak orang yang akan menyambut kami di landasan. Dari berita, perwakilan kementerian, personel gabungan TNI, dan wartawan sudah pasti akan membidik kedatangan kami.
Usai pesawat "parkir", kami para WNI diberikan pengarahan untuk berpindah pesawat menuju Kepulauan Natuna.
“WNI dengan Keluarga akan turun terlebih dahulu menuju pesawat Boeing pertama, Lalu dilanjutkan dengan WNI perempuan,” dalam pengumuman yang terdengar.
“Teman-teman yang laki-laki, kalian akan diberikan kehormatan untuk menaiki Hercules.”
Tepuk tangan bergemuruh, ada yang mengejek temannya karena harus menaiki Hercules, ada juga yang tak sabar merasakan pengalaman pertama.
“PUBG, rek!” celetukan cukup keras terdengar dari belakang kursi saya. Ya, Hercules memang mengingatkan kita dengan permainan battle royal PlayerUnknown’s Battlegrounds, atau PUBG.
Natuna, "Pochinki" di ujung Indonesia
Kepualauan Natuna menjadi salah satu wilayah yang kerap menjadi perhatian masyarakat Indonesia.
Sebelum diputuskan menjadi tempat observasi, Natuna sempat disorot karena masalah di wiliyah Laut Cina Selatan.
Jauh sebelum itu, bagian dari Provinsi Kepulauan Riau ini memang sudah dikenal dengan keindahan pesisirnya.
Namun, bagai "Pochinki" di game PUBG, banyak orang melihat Natuna sebagai tempat “spesial”.
Natuna selalu mencuri perhatian masyarakat Indonesia seperti Pochinki di gim PUBG, terlebih terkait dengan observasi WNI dari Provinsi Hubei.
Ada yang merasa “bersyukur” kami dipulangkan dan diobservasi di tempat layak, ada juga yang melihat negatif Natuna sebagai tempat observasi.
Berada di pesawat, saya pun hanya bisa pasrah, karena kami tahu bahwa saat itu juga ada nada kontra ditujukan pada prosedur karantina ini.
Baca Juga: Pulang karena Corona: Evakuasi Sekaligus Nobar Debut Bruno Fernandes
Ketika Safe Zone dianggap Red Zone
Tengah hari, pesawat Hercules yang kami tumpangi mendarat di Landasan Udara Raden Sadjad, Natuna.
Kami yang datang langsung disambut personel gabungan TNI yang sudah menyiapkan sarana prasarana observasi.
Tenda, peralatan tidur, kursi dan meja, serta pendingin ruangan sudah terpasang. Begitupun dengan layanan toilet dan sumber air.
Usai menata barang, kami bersama-sama makan siang sekaligus menunggu diturunkannya barang yang ada dalam bagasi.
Suasana di dalam lokasi ring satu tampak kondusif, sapaan hangat saling terucap dari para WNI dan personel TNI.
Berbeda dengan bagaimana media mengabarkan kondisi di luar kawasan Lanud Raden Sadjad.
Kabar demo besar-besaran menolak kegiatan observasi ini sempat membuat saya dan beberapa di antara kami down.
Masifnya percakapan dunia maya dan pemberitaan yang membingkai wabah virus Corona menjadi sangat mengerikan banyak membuat warga Natuna takut.
Ancaman tertular dari WNI yang diobservasi menjadi narasi yang diudarakan, dan berdampak cukup luas.
Kekalutan ini pun akhirnya segera diatasi. Kawasan yang harusnya menjadi safe zone bagi WNI yang diobservasi dan warga sekitar sempat dianggap sebagai red zone.
Dialog antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat secara efektif meredam perspektif negatif kegiatan observasi ini.
Belum lagi, Kementrian Kesehatan secara konsisten membagikan kegiatan WNI di tempat observasi melalui media sosial.
Setelahnya, sambutan hangat warga Natuna serta keindahan alamnya menjadi satu hal yang akan selalu kami kenang.