- Mantan Wakil Presiden IOC, Richard Pound, menanggapi kritik terkait Aturan 50 Piagam Olimpiade.
- Menurutnya tak ada unsur larangan atlet untuk menyampaikan pendapat kala tampil di Olimpiade.
- Richard Pound menyebut ada tempat untuk mengutarakan pandangan politik, tetapi tidak di lokasi pertandingan.
SKOR.id - Mantan Wakil Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), Richard Pound, membantah Aturan 50 Piagam Olimpiade telah membatasi kebebasan berpendapat atlet.
IOC mendapat kecaman keras dari sejumlah pihak setelah berulang kali mengingatkan atlet untuk tidak menyampaikan pandangan politik mereka di arena pertandingan.
Melansir Inside The Games, aturan 50 berbunyi, “Tak ada demonstrasi atau propaganda politik, agama, ras, dan apapun itu yang diizinkan (untuk dilakukan) di setiap lokasi Olimpiade, venue, atau area lainnya.”
Aturan tersebut menuai kecaman sejumlah pihak. Salah satu atlet yang mengkritik aturan tersebut adalah pesepak bola putri Amerika Serikat (AS), Megan Rapinoe.
Baca Juga: Anna Korakaki, Atlet Putri Yunani Pertama sebagai Penerima Api Olimpiade
“Begitu banyak yang dilakukan tentang protes, tetapi begitu sedikit yang dilakukan tentang apa yang kami protes. Kami tidak akan bungkam,” kata Megan Rapinoe via akun Instagram.
Richard Pound menanggapi kritik-kritik terkait Aturan 50 Piagam Olimpiade dalam surat kabar Kanada, The Star.
Menurut mantan Presiden Badan Anti-doping Dunia (WADA) itu ada beberapa hal yang perlu diketahui dari Aturan 50 Piagam Olimpiade.
“Pertama, ini bukan aturan baru. Kedua, aturan itu sepenuhnya konsisten dengan konteks yang mendasari Olimpiade. Politik, ras, dan orientasi seksual dikesampingkan,” katanya.
“Pedoman yang menyebabkan kehebohan itu dibuat oleh atlet sendiri. Merekaberisiko kehilangan momen yang telah dinanti seumur hidup dengan protes di podium,” tuturnya.
Richard Pound juga menegaskan bahwa IOC tidak pernah membatasi kebebasan berpendapat. Atlet bisa mengutarakan pandangan dalam wawancara atau di media sosial.
“Setiap orang berhak atas pendapat politik dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat semacam itu," kata Richard Pound.
“Tetapi dalam masyarakat bebas, hak bisa datang dengan batasan tertentu. Aturan 50 membatasi kesempatan dan tempat untuk pelaksanaan hak tersebut."
“Banyak organisasi pemerintahan dan olahraga lainnya memiliki peraturan yang sama dalam membatasi demonstrasi,” ujar Richard Pound.
Baca Juga: Road to Olimpiade 2020: Emilia Nova dan Sapwaturrahman Masih Bisa Susul Zohri
Komisi atlet IOC juga berusaha untuk membedakan antara protes dan mengekpresikan pandangan ketika mereka menetapkan pedoman khusus tentang aturan 50, bulan lalu.
Sebelumnya ada dua protes dalam waktu 24 jam yang dilakukan atlet Amerika Serikat (AS) ketika tampil dalam ajang Pan American Games 2019 di Lima, Peru.
Atlet anggar peraih perunggu Olimpiade Rio 2016, Race Imboden, berlutut selama lagu kebangsaan AS berkumandang.
Ia menyerukan perubahan di AS, dengan alasan rasisme, kontrol senjata, penganiayaan terhadap imigran, dan penentangannya terhadap Presiden Donald Trump.
Atlet lontar martil, Gwen Berry juga melakukan protes dengan mengepalkan tangan kanannya pada akhir upacara pengalungan medali.
Baca Juga: Timnas Putri Thailand Sudah Kebobolan 7 Kali dan Gagal ke Olimpiade 2020
Dalam kasus lain, Feyisa Lilesa, atlet jarak jauh Ethiopia membuat isyarat anti-pemerintah ketika menyentuh garis finis saat tampil di Olimpiade Rio 2016.
Feyisa Lilesa, yang meraih meraih perak, menyilangkan tangan sebagai simbol menentang tindakan represif pemerintah dalam menangani protes di wilayah asalnya, Oromia.