- Kompleks olahraga GBK merupakan salah satu cagar budaya Indonesia.
- Gaya arsitekturnya pun mengundang decak kagum.
- Di antaranya adalah gaya arsitektur temu gelang pada bagian atap stadion hingga memadukan ragam budaya dari Indonesia Barat sampai Indonesia Timur pada empat plaza utama.
SKOR.id - Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, menjadi perbincangan hangat lagi dalam beberapa hari terakhir. Itu lantaran adanya pro kontra terkait fungsi dari stadion yang didirikan dalam rangka menyambut Asian Games 1962 saat Indonesia menjadi tuan rumah.
Karena selepas konser salah satu girlband Korea Selatan ternama, BLACKPINK, yang digelar dua hari beruntun (11-12 Maret 2023) di SUGBK, rumput stadion menjadi rusak. Sehingga itu menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi PPK GBK (Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno) maupun LOC Piala Dunia U-20 2023 untuk membenahinya.
Mengingat, FIFA akan melakukan inspeksi lagi dalam waktu dekat untuk melihat kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Imbasnya, demi lancarnya proses perbaikan rumput yang stres akibat konser, Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, menegaskan SUGBK tidak bisa digunakan lagi untuk kegiatan apapun, termasuk sepak bola.
Makanya, laga tunda Persija vs Persib yang rencananya bakal digelar di stadion berkapasitas 77,193 penonton itu tidak bisa terwujud pada 31 Maret 2023. Persija pun harus mencari stadion lain untuk menjamu rival mereka tersebut.
Dari situlah muncul perdebatan, seharusnya SUGBK dikembalikan ke fungsi awalnya saja yakni untuk memfasilitasi kegiatan olahraga. Namun tuntutan semakin berkembang seiring bertambahnya waktu. Pihak PPK GBK pun tidak bisa menolak tawaran dari berbagai kegiatan di luar olahraga lantaran demi menghidupi kegiatan operasional dan target yang diberikan oleh pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Sekretariat Negara yang diberi otoritas dalam pengelolaan SUGBK.
Terlepas dari itu, menarik untuk mengulas bagaimana gaya arsitektur kompleks olahraga Gelora Bung Karno (GBK) yang berdiri di atas lahan lebih dari 100 hektar tersebut.
Dimulai dari SUGBK. Ide untuk membangun SUGBK dicetuskan oleh Presiden pertama Republik Indonesia (RI), Soekarno, setelah Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Saat itu, hal tersebut menjadi kebanggaan sekaligus kecemasan, lantaran kala itu kondisi Indonesia yang baru merdeka pada 17 Agustus 1945, memiliki masalah keterbatasan dana dan sumber daya manusia.
Namun, Presiden Soekarno tidak gentar dan kehilangan akal. Ia pun makin gencar mengampanyekan bahwa Asian Games 1962 adalah ajang yang bisa dijadikan sebagai pembuktian Indonesia merupakan negara yang hebat dan bisa makin dikenal dunia.
Lantaran diharuskan memiliki sebuah komplek olahraga untuk perhelatan Asian Games 1962, Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 113 tahun 1959 tentang pembentukan lembaga Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) yang bertugas menyiapkan perhelatan Asian Games 1962 pada 11 Mei 1959.
Pembangunan SUGBK ketika itu didanai lewat pinjaman lunak Uni Soviet (sekarang Rusia) senilai 12,5 juta dollar AS. Uni Soviet juga mengirimkan insinyur dan teknisinya untuk merancang SUGBK. Tapi ada juga arsitek anak bangsa yang dilibatkan yaitu Friedrich Silaban. Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Kruschev turut hadir dalam pencanangan tiang pancang pertama pada 8 Februari 1960.
Soekarno yang merupakan insinyur sipil jurusan bangunan dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB, kini jadi Institut Teknologi Bandung), punya rancangan sendiri soal wujud stadion utama yang akan dibangun. Ia waktu itu terinspirasi air mancur di Museo Antropologia de Mexico ketika berkunjung ke Meksiko. Dilihat dari arah tempat duduknya, nampak bentuk atap bundar dari sumber air mancur. Atap bundar itu hanya disangga sebuah tiang beton.
Oleh karena itu, Soekarno meminta arsitek Uni Soviet membuat atap dengan model temu gelang untuk SUGBK. Model temu gelang yakni seluruh bagian atas stadion dirancang sama sekali tidak memakai penyangga di tengah. Penyangga atap seluruhnya berada di tepi mengelilingi bangunan stadion. Atap oval yang mengelilingi stadion tersebut akan bertepi serta menyatu pada sebuah gelang raksasa yang secara kokoh bakal dicengkeram dari bagian sebelah atas.
Soekarno dalam pidatonya kepada para atlet yang sedang mengikuti pemusatan latihan untuk Asian Games ke-IV menyampaikan, arsitek Uni Soviet kala itu mengatakan hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
"Tidak, saya katakan sekali lagi, tidak. Atap stadion kita harus temu gelang," ujar Soekarno.
Model atap temu gelang dinilainya bisa membuat penonton terhindar dari teriknya matahari maupun curah hujan yang tinggi. Model tersebut juga untuk menunjukkan bahwa Indonesia punya kehebatan untuk membuat bangunan megah yang ketika itu gaya arsitekturnya sulit untuk diwujudkan.
Kala itu, SUGBK menjadi salah satu dari lima stadion di dunia yang memiliki arsitektur temu gelang selain Rusia dan Brasil. Pembangunan stadion memakan waktu hingga 2,5 tahun. Tepatnya, konstruksi stadion ini dimulai pada 8 Februari 1960 dan selesai pada 21 Juli 1962.
Seiring berjalannya waktu, SUGBK mengalami renovasi. Dari yang sebelumnya berkapasitas 110 ribu orang, berkurang menjadi 88.083 ketika renovasi dilakukan untuk penyelenggaraan Piala Asia 2007. Jumlah itu berkurang lagi saat renovasi untuk Asian Games 2018 menjadi 77.193 penonton.
Arsitektur Empat Plaza Utama
Renovasi yang dilakukan menjelang perhelatan Asian Games 2018 tidak mengubah struktur bangunan-bangunan cagar budaya yang ada di dalam kawasan GBK. Sentuhan penataan landscape yang sangat kental dengan ragam kekayaan budaya Indonesia pun kian mempercantik kawasan GBK. Salah satunya, sentuhan dingin dari seorang arsitek senior, Gregorius Yori Antar.
Yori berhasil memasukkan unsur ragam budaya nusantara yang saling bersinergi di dalam kawasan GBK. Keanekaragaman budaya kental terlihat, khususnya pada ornamen yang menghiasi empat plaza utama.
Penataan kawasan menitikberatkan pada gaya arsitektur modern klasik yang harus tetap dijaga. Keempat plaza utama di dalam kawasan GBK dihiasi oleh beragam budaya yang mewakili empat penjuru wilayah Indonesia.
Plaza Barat dihiasi oleh budaya yang berasal dari wilayah Indonesia Barat. Ornamen motif Batik Parang dari Pulau Jawa dan motif Songket dari Palembang merupakan bukti dari representasi ragam budaya yang ada di wilayah Indonesia Indonesia Barat. Selain itu, lekukan pada dinding pembatas plaza juga merupakan representasi dari Tarian Sirih Kuning.
Ragam budaya dari wilayah Indonesia Tengah menghiasi Plaza Utara (sisi utara). Representasi budaya yang ditampilkan pada Plaza Utara adalah motif Batik Benang Bintik dari pulau Kalimantan dan motif Tongkonan dari Toraja. Sementara motif lekukan pada dinding pembatas Plaza Utara adalah representasi dari Tarian Burung Enggang.
Sedangkan Plaza Tenggara dihiasi motif Sasambo dari Lombok dan motif Gringsing dari Bali. Plaza Tenggara menjadi perwakilan budaya dari wilayah Indonesia Tengah (sisi selatan). Tentu saja, lekukan pembatas plaza juga terlihat apik dengan hiasan budaya yang terinspirasi dari Tarian Pendet.
Plaza Timur sendiri dipercantik dengan hiasan budaya dari wilayah Indonesia Timur. Representatif budaya dari wilayah Indonesia Timur diwakili oleh motif Asmat dari Papua dan motif Patung Kesuburan dari Maluku. Sementara lekukan pembatas plaza terinspirasi dari Tarian Mambri.
Penataan landscape yang berpadu dengan keragaman budaya menjadikan kawasan GBK kini lebih cantik dan membuat ruang terbuka hijau yang berarsitektur megah.
“Seperti yang kita tahu, GBK memiliki konsep yang sangat kental dengan peninggalan masa kemerdekaan. Ini merupakan pengembangan visi dari Presiden Soekarno melalui para ahli arsitek dan sipil yang berasal dari Rusia,” ucap Yori.