SKOR.id – Tim voli pria Indonesia menutup perjuangannya di Leg 1 SEA V.League 2024 yang digelar di Manila, Filipina, pada Minggu (18/8/2024) akhir pekan lalu.
Farhan Halim dan kawan-kawan finis di posisi runner up usai menang tipis atas Vietnam. Turun di Stadion Ninoy Aquino, tim voli pria Indonesia yang berstatus juara bertahan dipaksa bertarung lima set sebelum akhirnya menang 3-2 (21-25, 25-21, 19-25, 25-22, 15-12).
Hasil ini bisa dibilang penurunan di ajang SEA V.League karena tahun 2023 lalu, tim pria Indonesia menyapu bersih dua leg tanpa mengalami kekalahan dari total enam pertandingan.
Tim nasional voli Indonesia, khususnya putra, bisa dibilang sudah menjadi raja di kawasan regional (baca: Asia Tenggara). Mereka sudah 12 kali merebut emas SEA Games, dengan terakhir melakukannya di Phnom Penh, Kamboja, pada 2023 lalu.
Namun begitu masuk level Asia – baik itu Asian Games maupun Kejuaraan Asia – tim voli pria Indonesia tidak mampu berbuat banyak.
Di Asian Games, hasil terbaik Indonesia adalah peringkat keempat pada 1962. Hasil serupa diperoleh di Kejuaraan Asia, saat menjadi semifinalis pada 2017. Kedua ajang tersebut kebetulan sama-sama digelar di Jakarta.
Untuk tim voli wanita, Indonesia baru sekali merebut medali emas SEA Games, pada 1983 di Singapura. Di Asian Games, torehan tertinggi adalah perunggu di Asian Games 1962.
Mengapa tim nasional voli Indonesia, utamanya pria, sulit bersaing di Asia? Apa saja penyebab dan faktor penghalangnya? Apa saja yang perlu dibenahi oleh Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI) selaku induk organisasi olahraga bola voli di Tanah Air?
Skor.id akan coba mengulasnya dalam Skor Special kali ini. (Skor Special adalah artikel yang akan memberikan perspektif berbeda setelah Skorer membacanya dan artikel ini bisa ditemukan dengan mencari #Skor Special atau masuk ke navigasi Skor Special pada homepage Skor.id.).
Faktor-faktor Tidak Langsung
Ada yang menarik dari pernyataan seorang mantan pevoli putra langganan tim nasional menyebut level Indonesia sudah bukan lagi Asia Tenggara. Dua tahun berlalu, faktanya Indonesia belum mampu bicara banyak di tingkat Asia.
Ada faktor-faktor tidak langsung, yang memiliki efek menghambat perkembangan voli Indonesia, dan mungkin membuat penurunan.
Pertama, ekpos media yang terbilang terbatas untuk bola voli, karena menilai sepak bola jauh lebih menarik karena popularitasnya. Voli memang sangat terkenal di Jawa, namun tidak begitu di luar Jawa.
Hingga di era digital saat ini, masih sangat jarang terlihat berita-berita bola voli Indonesia ada di halaman depan, demikian pula cabang olahraga (cabor) lain kecuali sepak bola.
Hanya saat atlet atau cabor menorehkan hasil spektakuler seperti yang dilakukan Veddriq Leonardo (panjat tebing) dan Rizki Juniansyah (angkat besi) saat merebut medali emas Olimpiade Paris 2024 lalu, baru menjadi headline.
Dari sudut pandang bisnis, kurangnya ekspos ini jelas tidak bagus untuk cabor-cabor non-sepak bola. Itulah menambah sulit para atlet non-sepak bola – termasuk induk organisasi cabor-nya – untuk mendapatkan dukungan sponsor untuk mendanai aktivitas mereka.
Kedua, imbas dari kalah populernya bola voli (dan cabor lain) dari sepak bola berujung pada sulitnya pembibitan. Mengapa demikian?
Hingga kini, banyak anak-anak mengidolakan pesepak bola, baik dalam maupun luar negeri. Beberapa dekade silam, masih banyak atlet hebat dari cabor bulu tangkis, renang, tenis, bersepeda, renang, dan masih banyak lagi.
Jadi, anak-anak dulu biasa mengidolakan Susi Susanti hingga Hariyanto Arbi (bulu tangkis), Nasution bersaudara, Elvira Rosa dan Elsa Manora (renang), dan penggemar voli mengidolakan spiker Iman Agus Faizal, peraih emas di lima SEA Games antara akhir 1980-an sampai akhir 1990-an.
Tetapi kini sebagian besar anak-anak menjadikan pesepak bola – dalam maupun luar negeri – role model. Selain karena popularitas dan gencarnya ekspos, para orangtua pun melihat menjadi pesepak bola bisa menjadi gantungan hidup buat anak-anak. Kondisi ini jelas menyulitkan pencarian pemain muda untuk cabor non-sepak bola, salah satunya bola voli.
Ketiga, bukan rahasia lagi jika olahraga di Indonesia kerap dijadikan alat politik bagi mereka yang ingin duduk di kekuasaan, baik itu di level daerah maupun pusat.
Mereka masuk ke cabor-cabor populer untuk mencari dukungan, dan rela melakukan apa pun untuk memajukan cabor itu hanya demi mendapatkan dukungan dan simpati dari pencintanya. Syukur-syukur bisa ikut terangkat populer seperti cabor yang dipimpinnya.
Bola voli termasuk salah satu yang kurang dilirik, karena dinilai kurang disorot oleh masyarakat, meskipun di daerah-daerah di Jawa bahkan hingga pelosok, voli sangat banyak dimainkan.
Kompetisi Terbilang Minim
Semua tahu jika sebuah tim nasional bisa menjadi kuat jika memiliki materi pemain yang kompetitif. Pemain yang kompetitif hanya bisa muncul dari liga yang kompetitif pula.
Sejak 2002, PBVSI menggelar kompetisi bola voli antarklub yang disebut-sebut tertinggi di Indonesia, Proliga. Sampai 2024, tidak kurang 22 klub voli pria dan 20 tim wanita pernah turun di Proliga.
Bukan berarti Proliga tidak kompetitif. Namun faktanya, sejak Proliga bergulir, timnas voli Indonesia, baik putra maupun putri, belum mampu bicara banyak di atas level Asia Tenggara.
Mungkin ada baiknya jika PBVSI juga menambah kompetisi bola voli antardaerah, karena saat ini ajang semacam itu hanya dilakukan empat tahun sekali di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON).
Dengan liga antardaerah ini mungkin bakal lebih banyak lagi bibit pemain muda yang bisa didapatkan. Pasalnya, saat ini bisa dibilang materi pemain untuk timnas voli sebagian besar dari Proliga.
Masalahnya, kompetisi antardaerah ini dipastikan membutuhkan biaya sangat besar. Padahal, dukungan sponsor untuk Proliga saja sepertinya masih kurang.
Pevoli Turun di Kompetisi Luar Negeri
Nama pevoli wanita Megawati Hangestri Pertiwi disorot menyusul kiprahnya di V League, Liga Voli Korea Selatan, dengan memperkuat klub Jung Kwan Jang Red Spark. Megatron, julukan Megawati karena smes kerasnya, masih akan turun di V League bersama Red Spark musim depan.
Selain Megawati, sejumlah pevoli pria Indonesia juga bermain di liga-liga di luar negeri pada musim lalu. Farhan Halim membawa Nakhon Ratchasima juara di Liga Thailand.
Kuartet pevoli Dio Zulfikri, Doni Haryono, Luvi Nugraha, dan I Gede Wira juga membantu klub Bodyguard Headquarter kampiun di Liga Kamboja. Fahry Septian membela SKV Montana di Bulgaria dan Yuda Mardiansyah yang membantu Diamond Food VC finis runner up di Thailand.
Apa yang sudah ditorehkan para pevoli Indonesia yang mampu menembus liga di luar negeri itu jelas patut diapresiasi. Kendati begitu, ada baiknya mereka dan para pevoli lain untuk terus meningkatkan performa agar menarik klub-klub di liga-liga bola voli top dunia.
Untuk tahun 2024 ini, ada sejumlah liga bola voli terbaik di dunia. Di bagian pria ada Brazilian Superliga (Brasil), Italian SuperLega (Italia), Russian Volleyball Super League/RVSL (Rusia), PlusLiga (Polandia), dan Efeler Ligi/Efe League (Turki).
Di sektor wanita, sejumlah liga terbaik dunia di antaranya Sultanlar Ligi/Sultans League (Turki), RVSL (Rusia), dan Serie A1 (Italia).
Jika para pevoli Indonesia mampu direkrut klub-klub yang turun di liga-liga bola voli terbaik dunia itu, rasanya kiprah Indonesia benar-benar sudah bukan di Asia Tenggara lagi.