SKOR.id – Liga Primer 2024-2025 baru berjalan tiga pertandingan. Namun, Manchester United sudah kalah di dua pertandingan terakhirnya (menang di laga pertama). Paling menyakitkan tentu saat dilumat 0-3 oleh Liverpool yang bertandang ke Stadion Old Trafford, akhir pekan lalu.
Penggemar sudah mulai membayangkan bila problem menahun Setan Merah akan kembali terjadi musim ini. Sejak Sir Alex Ferguson mundur dari posisinya sebagai pelatih, Manchester United terlihat tidak mampu mengatasi segudang problem.
Para penerus Ferguson, yakni David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solksjaer, hingga Erik ten Hag yang bertugas sejak 2022, tidak ada yang mampu membuat Man United tampil kuat dan konsisten.
Padahal, Man United memiliki sumber finansial melimpah. Namun, mengapa sederet pesepak bola mahal tidak juga mampu mengangkat performa The Red Devils? Apa yang membuat para pemain berstatus bintang itu tidak mampu maksimal di Man United daan justru malah terpuruk?
Skor.id akan coba mengulasnya dalam Skor Special kali ini. (Skor Special adalah artikel yang akan memberikan perspektif berbeda setelah Skorer membacanya dan artikel ini bisa ditemukan dengan mencari #Skor Special atau masuk ke navigasi Skor Special pada homepage Skor.id.).
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan para bintang yang didatangkan Man United tidak mampu memberikan dampak signifikan untuk klub dengan trofi Liga Primer (nama dan format kompetisi tertinggi sepak bola di Inggris sejak 1992) terbanyak, 13, itu.
Tidak Ada Strategi Jangka Panjang
Ketika Ferguson ada di sana, tidak diperlukan strategi jangka panjang karena dia itu sendiri strategi jangka panjang. Ferguson mendelegasikan beberapa tanggung jawab, tapi dia memiliki naluri bagus tentang apa yang terbaik bagi klub. Baik itu perekrutan, gaya permainan, Ferguson biasanya melakukannya dengan benar, tentunya di dua pertiga terakhir masa jabatannya.
Masalah muncul ketika Ferguson keluar pada tahun 2013. Itu karena Ferguson bekerja seperti kontraktor. Dia tidak meninggalkan apa pun dalam hal strategi bagaimana menjalankan sebuah klub sepak bola. Semua ada di kepalanya.
Pemilik klub Joel dan Avram Glazer, mantan kepala eksekutif Ed Woodward dan penggantinya, Richard Arnold, adalah orang-orang yang mengawasi pembangunan era Man United sejak manajer legendaris itu pensiun.
Sindrom Megabastard
The Megabastard Syndrom adalah istilah untuk klub yang kerap membeli pemain dengan harga tinggi namun menjualnya dengan harga murah.
Klub-klub elite, termasuk Manchester United, selalu terlibat dalam pembelian pemain-pemain mahal. Siklus pembelian ini sayangnya dinilai sebagai faktor krusial agar mampu kompetitif di berbagai kompetisi.
Kepentingan komersial secara signifikan mendorong terjadinya akuisisi sejumlah pesepak bola superstar. Itu karena para pemain kelas ini dianggap mampu mendongkrak pendapatan klub melalui endorsements dan penjualan merchandise.
Angel Di Maria dan Alexis Sanchez menjadi contoh paling tepat. Keduanya datang ke Old Trafford dengan ekspektasi tinggi namun faktanya kontribusi mereka di lapangan tidak sebagus yang dibayangkan.
Di Maria tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan bermain di Liga Inggris (Premier League) dan akhirnya memutuskan pergi setelah hanya satu musim membela Manchester United. Di sisi lain, Sanchez (yang datang usai ditukar dengan Henrikh Mkhitaryan) gagal untuk mengulang suksesnya saat berseragam Arsenal FC dan kerap mengalami cedera.
Kurangnya Keahlian dalam Perekrutan
Sindrom Megabastard yang dialami Man United diperparah dengan kurangnya kemampuan dalam merekrut pemain yang pas sesuai kebutuhan tim.
Man United pernah menjajaki kepindahan Jude Bellingham, Declan Rice, dan Erling Haaland. Tetapi karena satu dan lain hal, mereka malah justru memilih Donny van de Beek (daripada Bellingham), Casemiro (Rice), dan Odion Ighalo (Haaland).
Pada musim panas tahun 2023 lalu, ketika Harry Kane menegaskan bahwa dia akan meninggalkan Tottenham Hotspur, United memilih untuk tidak mengejar salah satu striker terbaik dunia dengan biaya sekitar 88 juta poundsterling dan malah menarik penyerang yang potensinya belum terbukti dari Atalanta BC yang saat itu berusia 20-an, Rasmus Hojlund, dengan harga cukup tinggi, 72 juta poundsterling.
Pola serupa terjadi selama bertahun-tahun. Jose Mourinho menyatakan minatnya untuk mengontrak Virgil van Dijk dari Southampton FC pada tahun 2017. Namun, United malah mengontrak Victor Lindelof dari SL Benfica.
Pada tahun 2019, Woodward sesumbar bahwa United mengontrak bek kanan Aaron Wan-Bissaka seharga 50 juta poundsterling dari Crystal Palace.
Pada musim panas yang sama, Manchester City diam-diam mengontrak Joao Cancelo yang lebih serba bisa dan mengesankan dari Juventus FC dengan harga sekitar 60 juta poundsterling.
Ada kesalahan penilaian lainnya yang merugikan Man Uniter. Casemiro (60 juta pounds) dan Raphael Varane (34 juta pounds) didatangkan dari Real Madrid dengan kontrak besar, hanya karena keduanya ikut terlibat dalam tahun-tahun terbaik di Santiago Bernabeu.
Sementara, Mason Mount yang direkrut dari Chelsea seharga 55 juta pounds pada musim panas lalu, meskipun belakangaan tidak memiliki peran yang jelas dalam tim karena posisinya serupa dengan bintang lainnya, Bruno Fernandes.
Teka Teki Masa Depan Pemain Muda
Klub-klub besar, termasuk Manchester United, tidak banyak memberi kesempatan kepada talenta muda untuk mengembangkan kemampuan di tim utama. Beberapa pemain muda klub justru dipinjamkan dan beberapa kembali untuk membuat perbedaan.
Media dan penggemar menuntut hasil-hasil bagus bisa datang dengan cepat, yang justru menghambat perencanaan untuk jangka panjang. Bahkan, pelatih sekaliber Ferguson pun harus menghadapi banyak tantangan untuk menyatukan para pemain mudanya saat awal memainkan Class of ’92 – David Beckham, Nicky Butt, Ryan Giggs, Gary dan Phil Neville, serta Paul Scholes.
Kurangnya visi taktis yang kohesif juga memberi dampak buruk buat The Red Devils. Setelah Ferguson mundur pada akhir musim 2012-2013, Man United telah ditangani delapan pelatih (termasuk yang berstatus caretaker dan interim seperti Ryan Giggs, Michael Carrick, dan Ralf Rangnick).
Pelatih
Setiap pelatih membawa filosofi sendiri-sendiri dan gaya permainan masing-masing. Ketidaktabilan ini memunculkan ketidakcocokan taktis untuk pemain yang dibeli oleh para pelatih sebelumnya.
Misalnya pendekatan pragmatis ala Jose Mourinho berbenturan dengan gaya menyerang yang diharapkan Man United. Akibatnya, pemain mahal (saat itu) seperti striker Romelu Lukaku alhasil tidak mampu memenuhi ekspektasi. Beban ekspektasi di Manchester United ini bisa sangat membebani.
Tututan Liga Inggris dan Sorotan Media
Pengawasan intensif dan sorotan media pada akhirnya bisa mengikis kepercayaan diri pemain. Bahkan penurunan kecil (performa, misalnya) sekalipun bisa diperbesar dan dibedah tanpa henti.
Coba lebih dalam mencermati kasus ini, Angel Di Maria. Winger asal Argentina ini datang dengan harga fantastis dan segudang harapan. Ia lalu kesulitan beradaptasi dengan tuntutan fisik di Liga Inggris serta isu-isu di luar lapangan.
Di Maria lalu pindah ke Paris Saint-Germain (PSG) setelah hanya semusim di Old Trafford, karena tidak pernah mencapai potensi terbaiknya di United.
Kasus lain terjadi pada Alexis Sanchez. Kedatangan penyerang sayap asal Cile itu sudah sangat dinantikan. Namun, dia tidak bisa menemukan ritmenya. Ditambah gangguan cedera dan performa yang buruk, Sanchez akhirnya memilih hengkang ke Inter Milan. Bersama Inter, Sanchez pun mulai menemukan lagi performa yang hilang.
Pelatih Man United saat ini Erik ten Hag mengklaim beberapa pemain tidak dapat mengatasi tekanan bermain untuk klub. Namun, pelatih asal Belanda itu menegaskan bergabung dengan Setan Merah masih merupakan “tantangan terbaik” bagi pesepak bola mana pun.
Donny Van de Beek masuk dalam daftar nominasi Ballon d’Or sebelum kepindahannya senilai 35 juta pounds dari Ajax pada tahun 2020. Sedangkan Jadon Sancho adalah salah satu pemain muda paling menjanjikan di Eropa ketika ia tiba dengan kesepakatan senilai 73 juta pounds dari Borussia Dortmund pada tahun 2021.
“Semua selalu tergantung pada para pemain dan seberapa besar kepercayaan diri Anda terhadap kemampuan Anda, tapi saya dapat memberi tahu Anda satu hal; Liga Inggris itu sulit,” ucap Ten Hag.
“Sulit bermain di sana karena lebih mudah bermain di tim mana pun selain Man United karena tekanannya selalu tinggi. Anda harus menghadapi itu.
“Tetapi jika Anda memiliki kepercayaan diri, ini adalah tantangan terbaik dan ini jelas merupakan klub terbaik yang Anda inginkan sebagai pemain. Itu tergantung dari pemain ke pemain, dan itu terutama tergantung pada karakter pemain, kepribadian mereka.”
Tantangan untuk Beradaptasi Bisa Hambat Pemain Berpengalaman
Tuntutan-tuntutan unik di Liga Inggris bisa menjadi rintangan yang signifikan. Para pemain yang tidak begitu mengenal aturan Liga Inggris akan kesulitan untuk menyamai sukses mereka di masa lalu.
Klub-klub yang lebih kecil mungkin menaikkan nilai para pemain bintang mereka. Begitu berada di Manchester United, keterbatasan mereka menjadi jelas.
Kesimpulannya, tidak mampunya pemain bintang bersinar di Manchester United adalah masalah multifaset. Kepentingan komersial, ketidaksesuaian taktis, dan beban ekspektasi, semuanya berperan.
Untuk menghentikan siklus ini, Man United memerlukan strategi rekrutmen yang koheren. Konsistensi taktis dan lingkungan yang mendukung sangat penting. Hanya dengan begitu mereka bisa mengembalikan dominasinya di lapangan.