- Liga Italia sering dijadikan batu loncatan para pemain berkualitas untuk memenuhi ambisi pribadinya.
- Meski berhasil mencetak banyak pesepak bola bagus, ironisnya dalam 10 tahun terakhir, tak ada wakil Italia yang membawa pulang trofi dari Eropa.
SKOR.id - ‘Supermarket’ Italia terkenal menyediakan produk-produk bermutu. Buktinya di final Liga Champions, yang mempertemukan Bayern Munchen dan Paris Saint-Germain, tampil tujuh pemain hasil didikan turnamen itu.
Ironisnya tim-tim dari Italia kembali penonton. Hal ini sudah berlangsung selama satu dasawarsa terakhir.
Dalam laga pamungkas yang dihelat di Stadion da Luz, Minggu (23/8/2020) waktu setempat, Kingsley Coman menjadi penentu lewat gol semata wayangnya.
Di balik ledakan kebahagiaan Bayern Munchen dan kesedihan PSG, ada penyesalan Juventus yang menjualnya tiga tahun lalu.
I Bianconeri mendapatkannya secara gratis dari Les Parisiens pada 2014. Winger, yang kala itu berusia 18 tahun, itu disodori kontrak lima tahun dengan harapan bisa jadi fondasi masa depan tim.
Namun, selama berada di bawah asuhan Massimiliano Allegri, pemain berbakat itu sering mengalami problem fisik.
Alhasil, baru semusim merumput di Torino, ia dilepas ke Bayern Munchen. Awalnya niat Juventus hanya meminjamkan dua tahun demi tujuh juta euro (sekitar Rp120,8 miliar) sekaligus mengangkat performa pemain internasional Prancis itu.
Namun, pada perkembangannya, FC Hollywood tertarik untuk mempermanenkannya. Gayung bersambut, petinggi klub berjuluk si Nyonya Tua itu ingin menguangkan Coman.
Selain karena di lini depan sudah ada deretan pemain yang sudah berpengalaman, angka 21 juta euro sulit ditolak.
Selain Coman, ada Philippe Coutinho yang mengalami kisah serupa. Gelandang serang asal Brasil itu menjadi milik Inter Milan sejak 2008.
Namun, ia malah dipinjamkan ke Vasco da Gama dan Espanyol. Pada musim 2012-2013, Coutinho dibawa pulang ke Appiano Gentile, pusat latihan I Nerazzurri.
Baru semusim, Philippe Coutinho dilego ke Liverpool pada 2013. Selama lima tahun membela The Reds, pemain kelahiran 1992 itu menjadi salah satu yang mencuri atensi dengan prestasinya.
Alhasil, ia diboyong ke Barcelona dan menjadi pembelian gagal sehingga dipinjamkan ke Bayern Munchen. Ternyata meski sedikit angin-anginan, putra seorang arsitek itu turut membantu wakil Jerman menyapu treble winner.
Perasaan getun mungkin juga dirasakan direksi Inter Milan ketika menyaksikan Ivan Perisic. Gelandang itu justru membaik performanya di bawah asuhan pelatih Hansi Flick.
Gelar juara Liga Champions menjadi obat pelipur lara Perisic yang dibuang La Beneamata. Bukan tak mungkin ikatan kerja sama pemain Kroasia dengan kampiun Liga Jerman akan diperpanjang.
Sementara dari kubu PSG, ada empat pemain hasil didikan Liga Italia, yakni Thiago Silva, Marquinhos, Leandro Paredes dan Marco Verratti.
Thiago Silva dijual Les Parisiens padahal baru teken kontrak baru dengan AC Milan pada 2012. Prestasinya merangkak naik ketika memperkuat tim tersebut.
AS Roma menyia-nyiakan Marquinhos dan Leandro Paredes. Dipinjam dari Corinthians, gelandang bertahan Brasil tersebut akhirnya dipermanenkan.
Namun, ketika berstatus pemain sendiri, I Giallorossi tergoda untuk melepasnya ke ibu kota Prancis demi 31,4 juta euro.
Keputusan itu justru membuat Marquinhos bersinar. Selama tujuh tahun, servisnya dibutuhkan dalam 283 pertandingan. Ia membalas kepercayaan pelatih dengan 25 gol dan 8 assist.
Kisah serupa dialami Paredes yang awalnya dipinjamkan Boca Juniors ke Roma. Klub yang bermarkas di Trigoria tersebut lantas menebus gelandang 26 tahun itu.
Sayangnya, ia kembali ‘disekolahkan’ ke Empoli sebelum dilego ke Zenit Saint Petersburg, sebelum mencuri perhatian Paris Saint-Germain. Pemain tersebut diturunkan pada 55 laga, serta memberi 1 gol serta 3 asisst.
Menjalani karier profesional dengan tim semenjana Pescara selama empat tahun, talenta Marco Verratti malah diendus PSG.
Mereka mendapat banyak keuntungan dengan merekrut gelandang internasional Italia pada 2012. Sebab pemain nomor enam itu mampu menjamin dinamisnya lini tengah.
Batu Loncatan
“Saya menjadi pemain seperti sekarang, juga berkat Seri A. Sebuah turnamen hebat yang mengajarkan saya banyak hal,” ujar Kingsley Coman.
Pernyataan itu salah satu indikasi bahwa Liga Italia selama ini hanya sering dijadikan batu loncatan saja.
Bukti lain adalah Mohamed Salah dan Alisson Becker yang sukses bersama Liverpool di Liga Champions dan Piala Dunia Antarklub, Paul Pogba angkat trofi Liga Europa edisi 2017.
Emerson dan Jorginho jadi aktor di balik kemenangan Chelsea asuhan Maurizio Sarri di Liga Europa 2018-2019.
Suso dan Ever Banega yang didepak AC Milan mampu membawa Sevilla jadi juara Liga Europa musim ini.
Ketidaksabaran mendidik para pemain muda dan lebih suka melakukan proses instan kini jadi bumerang.
Sementara klub-klub dari empat kompetisi top Eropa menunjukkan kemajuan lewat pembinaan panjang dan terstruktur.
Tak heran kalau mereka banyak mewarnai babak-babak akhir di Liga Europa maupun Liga Champions.
Sejak Inter Milan asuhan Jose Mourinho menaklukkan tiga kompetisi termasuk Liga Champions pada 2009, tak pernah ada lagi wakil Italia yang mengukir prestasi serupa.
Kalau tim-tim Italia ingin kembali ke puncak Eropa, pola pikir itu harus diubah. Pelatih tidak hanya bertugas meramu taktik tapi juga harus bertanggung jawab atas pemain yang diminta dari bursa transfer.
Mereka juga mesti membina para pemain dan mengeluarkan kemampuan terbaik sehingga siap diturunkan dalam format strategi apapun.
Tim-tim asing yang jeli melihat bakat pemain buangan Liga Italia, juga menikmati lonjakan harga dari komponen-komponen yang mereka tampung.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube dan Twitter dari Skor Indonesia.
Berita Liga Champions Lainnya:
Bayern Munchen, Hansi Flick, dan Para Pemain Serbabisa
11 Pemain Terbaik di Liga Champions 2019-2020: Bayern Munchen dan PSG Mendominasi