- ESPN menayangkan kisah Bruce Lee dalam seri dokumenter 30 for 30 episode Be Water pada awal Juni lalu.
- Legenda NBA, Kareem Abdul-Jabbar juga mengungkapkan pertemanannya dengan bintang olahraga seni bela diri (martial art) asal Hong Kong tersebut.
- Menurut Abdul-Jabbar, Lee adalah motivator yang turut mengiringi perjalanan kariernya di NBA.
SKOR.id – Mengapa legenda NBA, Kareem Abdul-Jabbar bertarung melawan Bruce Lee?
Itu mungkin pertanyaan bagi sebagian orang yang menonton film dokumenter Be Water dalam seri 30 for 30 di saluran ESPN pada awal Juni lalu.
Film itu mengeksplorasi kehidupan Bruce Lee, instruktur seni bela diri (martial art) dan bintang film aksi terkenal asal Hong Kong pada tahun 1970-an.
Lee secara tak terduga meninggal dunia pada Juli 1973, tapi status ikoniknya masih hidup sampai hari ini. Salah satunya dalam memori Kareem Abdul-Jabbar.
Baca Juga: Mike Tyson dan 12 Perempuan yang Pernah Singgah di Hati Si Leher Beton
Kareem Abdul-Jabbar adalah bintang NBA untuk tim Milwaukee Bucks saat itu, tetapi hubungannya dengan Bruce Lee dimulai sebelum ia bermain basket profesional.
Bertemu di UCLA
Abdul-Jabbar baru-baru ini berbicara dengan ESPN tentang relasinya dengan Lee.
"Saya belajar sedikit seni bela diri di New York dan ingin terus mempelajarinya ketika memulai studi di University of California, Los Angeles (UCLA)," kata Abdul-Jabbar.
"Di tahun ketiga, saya diberi masukan Mitoshi Uyehara (editor majalah Black Belt) agar ke Bruce. Mereka bilang Bruce punya gaya sendiri dan saya akan menyukainya."
Masih dikenal dengan nama Lew Alcindor, Abdul-Jabbar pun memasuki studio Jeet Kune Do milik Lee dan keduanya langsung menyukai satu sama lain.
Meski di New York telah mempelajari seni bela diri Jepang, aikido, Alcindor seketika terpikat pada seni jeet kune do dan mempelajarinya selama empat tahun (1967-1971).
Jeet kune do menggabungkan beragam disiplin ilmu untuk mencapai hasil yang diinginkan, baik itu saat menang atau untuk meloloskan diri dari sergapan lawan.
Tetapi, dasar dari disiplin itu adalah kemampuan beradaptasi dan efisiensi gerakan.
Dari cerita Abdul-Jabbar, ilmu bela diri Lee itu menekankan bahwa makin sedikit gerakan, makin baik, tetapi menyerang penuh tenaga dengan kecepatan tiba-tiba.
"Bruce menciptakan seni bela diri jambalaya, menambahkan dan mengesampingkan gerakan yang kurang efektif. Tidak ada gerakan yang sia-sia," kata Abdul-Jabbar.
Abdul-Jabbar mungkin tidak menyadarinya saat itu.
Faktanya, pebasket yang mengubah namanya pada tahun 1971 ini ternyata mempelajari hal yang sama dari pelatih kepala tim basket UCLA saat itu, John Wooden.
Dalam buku Abdul-Jabbar untuk pembaca mudanya, Becoming Kareem, ia ingat bagaimana ilmu kedua mentornya itu saling melengkapi satu sama lain.
"Saya menganggapnya sangat serius," Abdul-Jabbar menuliskannya dalam buku itu.
"Saya mendedikasikan diri untuk tetap fokus selama latihan basket dan latihan bersama Bruce. Hasilnya, saya menjadi lebih kuat, lebih cepat, dan jauh lebih intens."
Guru yang Menuntut
Bagi Abdul-Jabbar, Lee adalah sosok inovator yang memajukan seni bela diri campuran.
Berkat latihan bersama Lee itulah, Abdul-Jabbar menemukan gaya tembakan skyhook yang belakangan dikenali sebagai ciri khasnya dalam permainan basket.
“Skyhook itu perwujudan dari tembakan efisien yang membutuhkan gerakan minimal tetapi kecepatan tiba-tiba," pemegang enam gelar MVP NBA itu menuturkan.
Abdul-Jabbar juga menyebut Lee seorang guru yang sangat menuntut, yang kadang-kadang menunjukkan rasa frustrasinya ketika murid-muridnya tertinggal dalam pelatihan.
Namun, justru etos Lee yang melegenda itu yang memberi motivasi kepada Abdul-Jabbar untuk menguji batas kemampuannya.
"Fokus dan dedikasinya membuat saya bekerja lebih keras," kata Abdul-Jabbar.
Satu lagi, keanggunan Lee dalam menghadapi tekanan dan mengatasi perbedaan fisiknya, juga menyita kekaguman Abdul-Jabbar.
Akhir musim panas 1971, tepat setelah Abdul-Jabbar juara NBA bersama Milwaukee Bucks, dia diundang Lee untuk ikut berpartisipasi dalam film Game of Death.
Mereka syuting di Hong Kong. Dan, dari sanalah adegan pertarungan yang legendaris itu kemudian menjadi tontonan dunia.
Abdul-Jabbar mengatakan syuting lima hari itu terasa begitu melelahkan dan intens.
Bayangkan, Abdul-Jabbar yang setinggi 2,18 meter itu harus berkelahi melawan Lee yang hanya 1,71 meter, dan semuanya direkam secara langsung.
Bisa dimaklumi betapa sedih Abdul-Jabbar ketika mendengar kematian pria Asia yang telah menjadi temannya dalam beberapa tahun terakhir.
Tragis
Terlebih karena kabar itu diketahui Abdul-Jabbar ketika ia masih berada di Singapura dalam perjalanan ke Hong Kong untuk menemui Lee.
"Ketika Bruce meninggal, saya sangat sedih," Abdul-Jabbar mengakuinya.
"Dia masih sangat muda, baru 30-an. Sungguh tragis. Saya merindukannya. Anda merindukan seseorang yang pergi begitu tiba-tiba dan tidak terduga."
Yang jelas, Kareem Abdul-Jabbar yakini filosofi Way of the Warrior yang diajarkan Bruce Lee takkan lekang oleh waktu. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19 seperti sekarang.
“Bruce mengajarkan bagaimana mempersiapkan dan menangani masalah yang muncul dan menjadi sukses, dalam hidup atau olahraga," ucap Kareem Abdul-Jabbar.
Walau terbilang singkat, Lee telah meninggalkan warisan luar biasa sekaligus pengakuan di industri perfilman Hollywood.
Lee mulai dikenali setelah muncul dalam 26 episode serial TV, The Green Hornet.
Setelah itu popularitas Lee melejit berkat film-film seperti Marlowe (1969), The Big Boss (1971), Fist of Fury (1972), dan The Way of The Dragon (1972).
Sayangnya, Bruce Lee keburu meninggal sebelum Game of Death yang disutradarinya sempat diluncurkan.
Saat mengerjakan Game of Death itu, Bruce Lee bahkan ditawari untuk membintangi Enter the Dragon.
Game of Death sendiri baru rampung setelah 1978, atau lima tahun setelah kematian sang legenda.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube, dan Twitter dari Skor Indonesia.
Berita Terkait Lainnya:
Gaya hingga Filosofi, Petarung ONE Championship Indonesia Terinspirasi Bruce Lee
5 Artikel Terpopuler Pekan Lalu, dari Janda Kobe Bryant hingga Bruce Lee