- Alphonso Davies saat ini menjadi salah satu pemain terpenting Bayern Munchen.
- Perjalanan karier Alphonso Davies dimulai jauh di benua Afrika dan di Kanada.
- Davies punya perjalanan masa kecil yang penuh liku.
SKOR.id - Ada banyak rintangan dalam perjalanan karier Alphonso Davies sebelum di Bayern Munchen.
"Mereka yang punya mental terkuat yang akan bisa mewujudkan mimpinya"
Kisah Alphonso Davies tak dimulai saat ia jadi pemain termuda kedua sepanjang sejarah yang bermain di Major League Soccer (MLS) kala berusia 15 tahun.
Kisahnya juga tak dimulai saat ia jadi pemain termahal MLS saat dibeli Bayern Munchen kala berumur 17 tahun.
Cerita tentang siapa Aplhonso Davies dimulai jauh sebelumnya di tempat yang jauh dari Jerman dan juga rumahnya di Kanada.
Kisah Alphonso Davies dimulai dari kamp pengungsian warga Liberia di Ghana, dua negara yang berada di benua Afrika.
Kamp Pengungsian dan Kulkas
Orang tua Davies berasal dari Monrovia, Ibu Kota Liberia, dan harus mengungsi dari negara tersebut saat terjadi perang saudara.
Ghana jadi tujuan, keduanya kemudian tinggal di kamp pengungsian di daerah Buduburam, 44km sebelah barat Ibu Kota Ghana, Accra.
Di kamp pengungsian ini pula kemudian Davies lahir dan tumbuh menghabiskan lima tahun awal masa hidupnya.
Saat ia berusia lima tahun, keluarga Davies pindah menuju Windsor, Kanada, untuk mencari mimpi kehidupan yang lebih baik.
Kisah sepak bola Davies belum mulai di sini, sebelum setahun berselang keluarga kecil ini hijrah ke Edmonton, Ibu Kota Provinsi Alberta di Kanada.
Edmonton sangat berbeda dengan Ghana. Di sini, Davies pertama kali melihat salju dan mengerti bagaimana perbedaan dingin di sana dengan panasnya benua Afrika.
"Tak hanya dingin, ini seperti hidup di dalam kulkas. Sampai sekarang saya tak suka musim dingin, meski saya sudah lama tinggal di Kanada," kata Davies mengenang.
Tak hanya cuaca, Davies juga harus beradaptasi dengan banyak hal lain di tempat tinggal barunya tersebut.
"Rumah-rumah, sekolah, bagaimana cara berteman, saya tak mengenal siapapun kecuali keluarga dan saat itu saya masih pemalu," ujar Davies.
Satu cara Davies untuk mendapatkan teman? Yap, dengan olahraga. Tentu saja bukan olahraga sepak bola.
Anda tak bisa bermain sepak bola di Edmonton, Kanada. Salju mulai turun bulan September hingga tahun berganti, juga memang olahraga ini tak populer di sana.
Kanada sangat identik dengan olahraga hoki es, tak terkecuali juga di Edmonton. Olahraga ini pula yang coba dimainkan Davies, selain juga atletik, basket, dan bola voli.
Bukan berasal dari sana, tak mengherankan apabila Davies sangat buruk bermain hoki. Ia bahkan mengaku tak bisa mengikat sendiri tali sepatu hokinya dan tak bisa sama sekali berdiri di atas es untuk bermain.
Seperti kebanyakan remaja asal Afrika, Davies kecil lebih tertarik dengan sepak bola, hal yang ia dapatkan dari sang ayah.
Sang ayah bermain untuk tim amatir di Edmonton, selain juga selalu menonton pertandingan Chelsea di TV, membuat Davies juga jadi menyenangi tim asal London tersebut.
"Saya tumbuh besar menonton pemain seperti Didier Drogba dan Michael Essien. Saat akan tidur, saya bermimpi untuk menjadi pemain bintang besar di Eropa dan mencetak gol, selebrasi bersama puluhan ribu fan yang berteriak," kata Davies.
Kini impian tersebut sepertinya mulai jadi kenyataan, perjalanan panjang yang juga melibatkan banyak orang untuk membantu Davies bisa sukses.
2 Orang Penting
Dalam karier sepak bola Alphonso Davies, mungkin ada dua orang yang paling berpengaruh: Nick Househ dan Pa-Modou Kah.
Tantangan pertama untuk Davies kecil tentu adalah mencari tempat bermain sepak bola di Edmonton, Kanada.
Saat berusia sembilan atau sepuluh tahun, teman Davies mengajaknya untuk melakukan try out di salah satu klub muda di sana, Edmonton International.
Davies kecil yang masih pemalu sempat kesulitan sebelum kemudian lolos try out dan menjadi pemain di sana.
Masalahnya, Davies tak memiliki banyak waktu untuk berlatih, ia harus menjadi babysitter untuk kedua adiknya.
Ayahnya bekerja di pabrik sedangkan ibunya bekerja sebagai tukang bersih-bersih, mereka tak bisa menyewa pengasuh bayi dan kadang harus bekerja semalaman sampai pagi.
Pada saat rekan-rekan Davies berlatih, ia justru harus mengganti popok dan menyanyikan lagu nina-bobo untuk kedua adiknya.
Keberuntungan Davies mulai berubah saat ia memutuskan ikut salah satu temannya pindah ke klub Edmonton Strikers, klub terburuk di liga remaja di sana saat itu.
Ayah teman Davies ini adalah pelatih di sana dan bernama Nick Househ, orang yang kemudian kini jadi agen pemain dari Davies.
Househ menganggap Davies seperti anaknya sendiri, menjemput dan mengantar ke latihan, memberikan makan, dan jadi bagian penting dalam karier Davies kecil.
Saat ini pula Davies mulai berlatih untuk St Nicolas Soccer Academy yang punya lapangan indoor, hal yang membuat Davies bisa berlatih sepak bola sepanjang tahun.
Kemampuan luar biasa yang ia tunjukkan membuatnya kemudian bergabung dengan tim MLS, Vancouver Whitecaps, saat masih berusia 14 tahun setelah tiga kali menjalani trial di sana.
Semuanya tak mudah di awal bagi Davies. Ia memang cepat berkembang dengan bermain di tim U-16, lalu U-18, sebelum kemudian bermain untuk tim cadangan.
Akan tetapi, saat itu ia menemui tantangan berat: jauh meninggalkan keluarga, merupakan pria yang pemalu, dan seperti tak bisa menemukan permainan terbaik untuk bisa bermain bersama pria-pria dewasa lainnya.
"Pekan-pekan awal saya tak bisa melakukan segalanya dengan benar. Saya tak cukup kuat, tak berpikir cukup cepat, umpan selalu salah, saya mulai khawatir," kata Davies.
Davies mulai ragu, apakah pria dari Edmonton yang terkenal dengan hoki, bisa bersaing dengan pemain-pemain dari Brasil atau Eropa.
Kemudian datanglah pria yang juga akan mengubah pemikiran Davies: Pa-Modou Kah.
Kah adalah pemain asal Gambia yang sempat bermain di Swedia, Belanda, Qatar, Arab Saudi, serta membela timnas Norwegia.
"Dia terus berkata kepada saya, 'Teruslah berjuang, kita semua kadang bermain buruk. Mereka yang punya mental terkuat yang akan bisa mewujudkan mimpinya'," ujar Davies.
Kata-kata ini terus terngiang di kepala Davies, ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari serta saat latihan, hingga kemudian ia dipanggil oleh pelatih tim utama.
Saat berlatih bersama tim utama, ia sempat gugup meski kemudian semua sirna saat ia bisa melewati kapten tim saat adu tanding latihan.
Setelah itu, ia punya kepercayaan diri untuk tampil di tim utama, tanda tangan kontrak profesional saat berusia 15 tahun, lalu menjalani debut di tim utama.
Musim berikutnya, Davies sudah jadi pemain inti Whitecaps sebelum kemudian ada tantangan lain yang muncul dalam karier Davies.
Raksasa Liga Jerman, Bayern Munchen, resmi membelinya sebagai pemain termahal MLS saat itu, meski di kemudian hari rekornya dipecahkan oleh Miguel Almiron.
"Saat saya hengkang pada 2018, saya sudah sangat berbeda bukan lagi pria pemalu yang datang ke Whitecaps empat tahun sebelumnya," kata Davies.
"Saya ingin memperlihatkan bahwa saya bisa bermain di level ini. Karena perjalanan saya panjang, saya ingin bermain dengan senyum di bibir, saya selalu mengingatkan diri saya tentang itu."
Kini, Davies berusia 19 tahun dan terus mengukir rekor serta gelar juara bersama Bayern Munchen.
Mengaku ingin menjadi pelatih setelah pensiun kelak, sepertinya masih banyak waktu untuk Davies terus melebarkan sayapnya sebagai pemain terlebih dahulu.
Meski begitu, sepertinya Davies akan terus terbang tinggi, entah sebagai pemain dan mungkin kelak sebagai pelatih, karena ia sudah memegang kuncinya:
"Mereka yang punya mental terkuat yang akan bisa mewujudkan mimpinya".
Ikuti juga Instagram, Facebook, dan Twitter dari Skor Indonesia.
Masjid Terbesar Jerman, Kontroversi Jersi, dan Usaha Menyatukan Kolnhttps://t.co/QrJG00SRLF— SKOR Indonesia (@skorindonesia) August 12, 2020
Berita Bayern Munchen Lainnya:
Striker Cantik dari PSG Ini dan Alphonso Davies Bisa Ukir Sejarah di Liga Champions
Wonderkid: Alphonso Davies, ''Sprinter'' Bayern Munchen dari Kanada