- Seto Nurdiyantoro, Yohanes Yuniantara, dan Fajar Listyantara adalah satu dari sekian keluarga yang sama-sama berkarier sebagai pesepak bola profesional.
- Tak jarang, Seto Nurdiyantoro harus menghadapi saudaranya sendiri saat mereka bermain di kubu lawan.
- Meskipun demikian, Seto Nurdiyantoro mengatakan bahwa profesionalitas tetap menjadi nilai utama ketika mereka saling berhadap-hadapan, atau bahkan ketika bermain di klub yang sama.
SKOR.id – Sepak bola sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mantan pelatih PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta, Seto Nurdiyantoro.
Seperti anak-anak seusianya di masih kecil, lelaki kelahiran Kalasan, Sleman, itu sudah mencintai sepak bola.
Bahkan, delapan laki-laki dari sepuluh saudara kandung Seto, juga memiliki kegemaran serupa: mengolah si kulit bundar.
Namun, selain Seto, hanya ada dua saudara laki-lakinya yang akhirnya memutuskan terjun di kancah profesional, yakni Yohanes Yuniantara dan Fajar Listyantara.
Sebetulnya, ada empat saudara lainnya yang juga sempat bermain di klub. Namun, mereka hanya berkompetisi di level amatir.
"Saat itu, semua saudara saya memang memiliki hobi bermain sepak bola. Kebetulan jarak dengan lapangan tak begitu jauh dari rumah saya," kata Seto, saat dihubungi Skor.id, Minggu (14/2/2021).
"Karena, zaman dahulu sepak bola memang tak pernah dianggap sebagai sebuah profesi. Ini berbeda dengan anak-anak sekarang yang memang bercita-cita menjadi pesepak bola," ucap dia.
Seto mengatakan, ia dan saudara-saudaranya tak pernah menimba ilmu di Sekolah Sepak Bola (SSB). Sebab, saat itu memang pembinaan pemain di usia muda belum semaju saat ini.
Itulah sebabnya, mereka hanya berlatih secara otodidak ketika sama-sama bermain di PSK Kalasan (salah satu klub internal PSS Sleman).
Lagi pula, tak ada rencana untuk menjadikan sepak bola sebagai penyambung hidup di masa mendatang.
Dibandingkan kedua saudaranya itu, Seto sudah lebih dulu mengawali kiprah di dunia profesional.
Sementara Yohanes yang berusia lima tahun lebih muda daripada Seto, dan Fajar, turun gelanggang belakangan.
Ketika itu, liga sepak bola semi profesional di Indonesia, Galatama, dan kejuaraan nasional yang bersifat amatir, Perserikatan, digabung menjadi Liga Indonesia pada 1994.
Momen bergabungnya Galatama dan Perserikatan itu turut menandai kiprah pertama Seto di dunia profesional bersama PSS Sleman.
"Mungkin saya lebih beruntung karena saat usia saya masih di kisaran 17-18 tahun, kompetisi Perserikatan dan Galatama dilebur menjadi Liga Indonesia (Ligina)," kata Seto menjelaskan.
Kemudian setelah Seto meniti kariernya di dunia profesional, kedua adiknya, Johan dan Fajar, menyusul.
Tak Pernah Bermain Satu Tim
Meskipun Seto, Johan, dan Fajar berkiprah di dunia profesional, tapi ketiganya belum pernah sekali pun bermain bersama dalam satu tim.
Biasanya, hanya ada dua dari mereka yang bermain bersama, sementara satu lainnya bermain di klub berbeda.
Padahal, menurut Seto, mereka bertiga sempat memiliki keinginan untuk bermain di klub yang sama. Sayangnya, keinginan itu tak pernah terwujud.
"Kami bertiga belum pernah bermain di satu tim yang sama. Namun, sebetulnya kami memiliki keinginan bermain bersama," kata mantan pemain timnas Indonesia ini.
"Biasanya, saya bermain sama Johan, sementara Fajar di klub lain. Atau kalau tidak, Fajar dan Johan bermain di klub yang sama, sedangkan saya di klub lain," ia menambahkan.
Selain bermain satu tim, ketiganya juga tak jarang berhadap-hadapan sebagai lawan dalam sebuah pertandingan.
Sebab, saat itu klub yang dibela Seto, PSS Sleman, baru saja promosi ke kasta tertinggi dan harus berjumpa dengan Persijatim yang dibela saudaranya.
Seto mengatakan, duel antara kedua tim berlangsung menarik. Sebab, meski sempat tertinggal, PSS Sleman akhirnya memenangi laga dan Seto turut menyumbang satu gol.
Salah satu momen yang tak akan pernah dilupakan Seto ialah untuk pertama kali harus menghadapi saudaranya di laga resmi.
"Saat itu kalau tidak salah saya bermain bersama Fajar di PSS Sleman. Kami melawan Johan yang bermain di Persijatim," katanya.
"Jadi itu adalah laga pertama kali kami bertanding sebagai lawan. Duel berlangsung menarik, karena kami sempat tertinggal satu gol, lalu berhasil menyamakan. Kemudian tertinggal lagi dan akhirnya kami bisa membalas. Akhirnya kami menang," ucap Seto.
Tetap Profesional di Atas Lapangan
Satu cerita menarik dari ketiga bersaudara itu ialah ketika Seto Nurdiyantoro yang sudah mulai meniti karier sebagai pelatih harus mempertimbangkan adiknya, Johan, yang mengikuti seleksi.
Ketika itu, Seto dipercaya untuk menakhodai PSIM Yogyakarta. Johan yang saat itu masih aktif bermain pun ikut seleksi tim.
"Saat itu, PSIM Yogyakarta adalah tim pertama yang saya latih. Fajar menjadi salah satu pemain yang ikut seleksi," katanya.
"Dia lolos seleksi, tapi saya katakan bahwa ini bukan karena ikatan persaudaraan, tetapi memang secara profesional. Karena memang dia layak dan dibutuhkan tim," ia melanjutkan.
Bagi Seto, pengalaman bermain bersama atau pun momen-momen saat harus bertanding melawan saudaranya sendiri di atas lapangan, nilai profesional tetaplah yang utama.
Sebab, nilai itu selalu ia tanamkan sejak dahulu, mulai ketika masih aktif bermain maupun meniti karier di sebagai pelatih.
"Saat kami bermain bersama, saat kami bermain sebagai lawan, di mana pun itu, mereka adalah lawan saya," katanya.
"Namun setelah pertandingan selesai, ya kami kembali menjadi saudara," ujar pelatih yang sukses mengantarkan PSS Sleman juara Liga 2 2018 dan promosi ke Liga 1 2019 itu.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube, dan Twitter dari Skor Indonesia.
View this post on Instagram
Berita Kasih Sayang di Sepak Bola Nasional lainnya:
Kasih Sayang di Sepak Bola Nasional: Harmonisnya Keluarga Kecil Kas Hartadi
Kasih Sayang di Sepak Bola Nasional: Cerita Indriyanto Nugroho-Tommy dari Primavera Baretti