- Sejak selesai dibangun pada 2013, Stadion GBLA terus dirundung masalah.
- Persoalan yang kerap mendera Stadion GBLA diduga melibatkan unsur klenik.
- Kata "Api" dalam nama Stadion GBLA disebut sebagai sumber masalah.
SKOR.id - Stadion megah Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) kerap diterpa masalah. Dugaan unsur klenik pun mengemuka.
Polemik pun muncul sejak proses pembangunannya dan pemilihan nama stadion yang rampung pada 2013 ini.
Sebelum akrab dengan nama sekarang, stadion yang terletak di Desa Cimincrang, Kota Bandung, itu tak punya nama resmi. Ketika masih direncanakan, orang lebih sering menyebut sesuai lokasinya, Gedebage.
Belakangan muncul nama West Stadium. Nama tersebut dicantumkan oleh konsultan dalam maket perencanaan pembangunan saat dipresentasikan di depan Walikota Bandung, Dada Rosada. pada 23 Maret 2008.
Hingga penancapan patok pada 21 Mei 2008 oleh Dada Rosada, nama stadion berkapasitas 40 ribu penonton ini masih buram.
Saat pembangunan fisiknya rampung pada 2013, nama awal GBLA pun diperebutkan hingga tiga institusi.
Usulan pertama muncul dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung sebagai penggagas. Pemkot Bandung mengusulkan Gelora Rosada.
Alasannya sebagai penghargaan kepada Dada Rosada karena dapat mewujudkan keinginan warga Bandung memiliki stadion megah.
Usulan kedua dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat yang merasa punya andil besar dalam pembangunan GBLA.
Wakil Gubernur Dede Yusuf kala itu meminta stadion yang dibangun di atas lahan seluas 42,5 hektar tersebut diberi nama Gelora Bandung Lauta Api (GBLA).
Lalu di tingkat pusat, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) mengusulkan nama Gelora Ir Soeratin. Nama ini diusulkan oleh Menpora ketika itu, Roy Suryo.
Maksudnya adalah memberi penghargaan kepada almarhum Ir. Soeratin Sosrosugondo sebagai pendiri induk sepakbola di Indonesia, PSSI, dan sekaligus kampanye kepada pemerintah agar mengakui Soeratin sebagai pahlawan.
Polemik seputar pengambilan nama semakin panas dan tidak terhindarkan. Untuk menghindari pro dan kontra serta mengakhiri polemik, diadakan jajak pendapat (polling) pada 4-22 Maret 2013.
Polling dianggap adil karena masyarakat Jawa Barat langsung yang memilih nama. Polling itu dilakukan oleh DPRD Kota Bandung sebagai penengah melalui Short Massage System (SMS).
Setelah sebulan polling berjalan, muncul sebuah keputusan. Masyarakat kebanyakan memilih nama Bandung Lautan Api (BLA) dibandingkan tiga nama lain yang masuk sebagai opsi.
Dari 14.777 SMS yang masuk ke peladen (server), 83,3 persen memilih nama Gelora Bandung Lautan Api". Sisanya Gelora Gedebage 2.047 (11,7 persen) dan Gelora Rosada 871 (5,0 persen).
Sedangkan nama Ir Soeratin Sosrosugondo tidak masuk dalam polling. Lantaran dipilih oleh banyak responden, jadilah GBLA dipakai sebagai nama stadion tersebut sampai sekarang.
Ide penamaan GBLA dimunculkan Dede sejak stadion masih dalam taraf pembangunan. Lalu Dede menegaskan lagi di hadapan para bobotoh, manajemen dan skuad Persib dalam peluncuran tim di Pendopo Pemkot Bandung, Desember 2012.
Pada 2 April 2013, nama GBLA ditetapkan sesuai hasil polling. Bagi Dede, nama GBLA punya dua arti.
Pertama, GBLA identik dengan heorisme dan semangat warga Bandung dalam peristiwa sejarah Bandung Lautan Api saat melawan dan menolak tunduk terhadap penjajahan pada masa revolusi.
Kedua, ingin menyemangati Persib untuk tetap menjadi tim terbaik dan semangat mengejar juara tidak padam.
"Semoga dengan nama ini (GBLA), prestasi dan semangat juang Persib untuk jadi juara Liga Indonesia tidak akan pernah padam. Perjuangan Persib adalah perjuangan seluruh bobotoh se-Jawa Barat, perjuangan kita semua," ujar Dede di sela-sela launching tim Persib kala itu.
Setahun berikutnya, ucapan Dede menjadi kenyataan. Persib berhasil menjuarai kompetisi Indonesia Super League (ISL) 2014.
Tetapi, perjalanan GBLA ternyata tidak semulus langkah Persib. Waktu demi waktu, tahun, bulan, minggu dan hari, begitu banyak persoalan yang dihadapi GBLA.
Penggiat dan pemerhati sosial kemasyarakatan, Harri Safiari, mengungkapkan bahwa lokasi berdirinya Stadion GBLA dulu adalah rawa dan lahan persawahan penghasil padi berkualitas.
Selain itu, pada 1920-an kawasan tersebut dikenal sebagai sumber air (reservoir) sehingga masyarakat setempat kerap membuat lahan ternak ikan dan mencari ikan.
"Sementara sekarang menjadi komplek olahraga dan berdiri stadion. Setelah pembangunan selesai, akhirnya sering terjadi banjir di sana sini. Air hujan sering meluap ke permukiman warga sampai sekarang," Harri menjelaskan.
Harri menambahkan pemilihan nama GBLA tentu mengandung unsur api. Jika dikaitkan dengan klenik, tidak keliru karena api yang selalu panas membuat GBLA terus dirundung berbagai persoalan yang seolah tiada berakhir.
Indonesia Segera Punya Lapangan Rumput Hybrid seperti Markas Real Madridhttps://t.co/cNhD05rq6k— SKOR Indonesia (@skorindonesia) July 5, 2020
"Jadi, kalau dikaitkan dengan dua unsur itu, secara kleniknya mungkin juga ada benarnya. Satu sisi GBLA berdiri di atas lahan yang dulunya banyak air maka tanah anjlok karena tak kuat menahan beban.
"Pemilihan nama GBLA mengandung unsur api itu. Maka kita lihat saja aura GBLA terus menerus panas, rungsing, rudet dan terus bermasalah. Dari mulai korupsinya yang sangat tinggi sampai dengan persoalan lainnya hingga akhirnya mandek sampai sekarang," Harri memaparkan.
Jadi, apabila disimpulkan, menurut Harri, pangkal masalahnya adalah air yang menjadi pijakan GBLA dan api sebagai namanya.
Persoalan pertama GBLA adalah ketika dinyatakan mengalami pergeseran tanah dan amblas.
Persoalan kedua adalah dua orang tewas akibat keributan antarsuporter ketika Persib bertanding di GBLA.
"Namun, saya tak berani mengatakan agar GBLA diganti namanya. Jika memang GBLA akan direnovasi, pertimbangkan juga untuk mengubah namanya. Itu hak pemerintah," ujar Harri yang penduduk Antapani Bandung Timur itu.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube, dan Twitter dari Skor Indonesia.
Berita Stadion GBLA Lainnya:
Stadion GBLA Ternyata Lebih Sempurna dari Tiga Stadion Raksasa Indonesia