- Nama-nama bintang basket dunia banyak muncul dari Liga Basket Amerika Serikat, NBA.
- Dari Yao Ming hingga Luka Doncic, NBA melebarkan sayap globalisasinya lewat representasi negara di luar Amerika Serikat.
- Strategi ini ternyata terus dikembangkan hingga saat ini, demi berjalannya bisnis kompetisi.
SKOR.id - Dua musim terakhir NBA dicap sebagai periode perang bintang, dengan munculnya beberapa superteam di NBA.
Meski tim-tim super ini belum menunjukkan tajinya, dengan LA Lakers dan Brooklyn Nets gagal menjuarai NBA 2020-2021, namun bisnis kompetisi tampak berkembang.
Sorotan musim lalu tak hanya menuju sang klub juara, Milwaukee Bucks. Bintang Bucks, Giannis Antetokounmpo, juga turut mendapat panggung besar.\
Kini, Giannis bisa dibilang menjadi salah satu ikon besar NBA, "pemain asing" yang namanya sama besar di samping LeBron James atau Stephen Curry.
Namun, penokohan pemain asing di NBA bukan hanya menanti kejadian seperti Giannis dan Bucks terulang. Harus diakui, NBA kini makin membuka panggung untuk representasi dunia, sebagai kompetisi yang multikultur dengan nafas visi "wadah talenta dunia."
Sosok Giannis Antetokounmpo merupakan representasi talenta dunia. Ia lahir di Athena, Yunani, dari keluarga imigran Nigeria. Ia sempat kesulitan mendapatkan kewarganegaraan hingga pada tahun 2008, ia mulai bermain basket.
Dalam lima tahun, direkrut sebagai draft ke-15 oleh Bucks. Penampilannya menjanjikan. Giannis langsung disorot pada musim awalnya di NBA.
Latar belakang pemain internasional menjadi magnet para khalayak untuk menikmati liga. Di tengah kedigdayaan para pemain berpaspor AS, Giannis menjadi pemain asing keempat yang digelari Most Valuable Player (MVP) pada tahun 2019 dan mempertahankan penghargaan tahun berikutnya.
Kisah tak berhenti di Giannis. Pada NBA 2020-2021, pemain Serbia, Nikola Jokic, juga terpilih sebagai MV.
Raihan Giannias dan Jokic tercatat dalam buku sejarah NBA. Untuk kedua kalinya dalam sejarah NBA, tidak ada pemain Amerika yang menyabet MVP selama tiga musim berturut-turut.
Sosok sebelum Giannis dan Jokic adalah legenda NBA, Steve Nash. Nash menyabet dua dari tiga penghargaan MVP antara 2004 dan 2007, dan Ia adalah warga negara Kanada.
Kehadiran bintang non-AS sepetinya memang "disetel" secara sengaja oleh NBA. Kehadiran Giannis, Jokic, Luka Doncic, dan Rudy Gobert telah membuat bola basket sekarang terasa lebih mendunia dari sebelumnya.
Keempat pemain itu juga digambarkan sebagai "penantang" yang seimbang atas talenta-talenta Amerika Serikat.
Doncic yang berpaspor Slovenia dinobatkan sebagai Rookie of the Year pada tahun 2019, serta masuk dalam tim All-Star selama dua musim terakhir. Sementara Gobert yang berkebangsaan Prancis terpilih sebagai Defensive Player of the Year sebanyak tiga kali dan masuk tim All-Star dua kali. Kualitas yang bukan kaleng-kaleng.
Sejak era Yao Ming
Keseriusan NBA menyebarkang tayangannya ke seluruh dunia dimulai pada 2002, saat NBA mulai membangun pasar dari Cina.
Laporan Varity pada 2020, NBA mendapat peningkatan besar dalam pendapatan dari bisnisnya di luar negeri.
Program NBA Cina yang diluncurkan tahun 2008 kini diperkirakan bernilai lebih dari 4 miliar dolar AS, dan perkembangan ini disebut mengubah cara liga menjalankan kompetisi.
Ketika Yao Ming pertama kali melantai di NBA pada tahun 2002 sebagai pemain NBA Cina ketiga, NBA seakan memiliki "bahan marketing" potensial.
Yao Ming dibingkai sebagai saingan big man terbaik AS saat itu, Shaquille O'Neal. O'Neal memanaskan rivalitas ini dengan membuat komentar menghina diarahkan pada Ming, mengejek aksen Cina.
Rivalitas Yao Ming vs Shaquille O'Neal ini membuat NBA sekarang memiliki hubungan dekat dengan Cina. Lebih-lebih, pecinta basket di Cina punya kedekatan emosional dengan Kobe Bryant, yang disebut mendekati status seperti dewa.
Jatuhnya The Dream Team
Namun, munculnya banyak jagoan dari pemain asing membuat Timnas Amerika Serikat kini tak sekuat era The Dream Team.
Meski menyabet medali emas Olimpiade Tokyo 2020, Timnas Basket AS banyak dinilai negatif setelah kalah dari Prancis pada Piala Dunia FIBA 2019.
AS juga tak tampil maksimal dalam pertandingan pembukaan mereka di Tokyo dengan kekalahan atas Timnas Prancis.
Secara statistik, Timnas Basket AS juga masih mengalami penurunan. Skuad internasional yang kini "sama kuatnya" mempersulit untuk munculnya kembali The Dream Team.
The Dream Team yang turun pada Olimpiade 1992 saat itu mencatatkan margin kemenangan dengan lebih dari 40 poin per pertandingan.
Catatan 53 pemain non-Amerika di NBA pada tahun 2001 kini sudah berada di angka dua kali lipat, 107 pemain, pada musim lalu.
Kira-kira, bisakah pengauh NBA makin luas di tengah masyarakat dunia? Menarik untuk dinantikan.
View this post on Instagram
Berita Basket Lainnya:
3 Bintang Basket NBA yang Bersinar Meski Miliki Penyakit Bawaan
Gabung Klub Basket Meksiko, Lester Prosper Diasuh Mantan Pelatih CLS Knights