- Ukraina dan sejumlah negara Eropa mengancam memboikot Olimpiade Paris 2024 usai IOC mengizinkan Rusia dan Belarus berpartisipasi.
- Jika ancaman tersebut benar dilakukan, maka itu adalah kali ketujuh boikot terjadi dalam sejarah penyelenggaraan Olimpiade.
- Terakhir kali boikot terjadi dalam Olimpiade yakni kala Seoul, Korea Selatan menjadi tuan rumah pada 1988 silam.
SKOR.id – Komite Olimpiade Internasional (IOC) menghadapi tantangan politik besar seperti yang terjadi pada 1980-an. Ukraina melancarkan kampanye menolak partisipasi Rusia dan sekutunya, Belarus, dalam Olimpiade Paris 2024.
Baru-baru ini, negara pimpinan Presiden Volodymyr Zelensky bahkan mengancam memboikot multi-event olahraga terbesar itu setelah IOC mengizinkan atlet-atlet Rusia dan Belarus tampil, meski netral tanpa atribut negara.
Ukraina marah dengan keputusan IOC karena invasi yang dilancarkan Rusia masih berlangsung. Langkah mereka mempertimbangkan boikot Olimpiade tahun depan pun dapat dukungan dari sejumlah negara Eropa yang simpatik.
Organisasi yang dikepalai Thomas Bach menanggapi dalam sebuah pernyataan bahwa sangat disesalkan politisi menyalahgunakan atlet dan olahraga sebagai alat untuk mencapai tujuan politik. Argumen IOC berlandaskan pada hak asasi manusia.
Menurut mereka, tak ada atlet yang boleh mengalami diskriminasi hanya karena paspor. IOC tampaknya siap menghukum pihak yang memprotes keputusan mereka daripada agresor dalam perang.
IOC punya aturannya sendiri berdasarkan Piagam Olimpiade. Ini adalah dokumen reguasi yang mengatur organisasi, keputusan dan operasi Gerakan Olimpiade dan menetapkan ketentuan untuk perayaan multi-event olahraga.
Disebutkan bahwa masing-masing dari 206 Komite Olimpiade Nasional (NOC) wajib mengikuti Olimpiade dengan mengirimkan atlet. Apa yang tidak dikatakan adalah kerangka kerja yang jelas untuk bertindak melawan Rusia dan Belarus dalam situasi saat ini.
“Tidak ada dalam Piagam Olimpiade yang mengatakan jika pemerintah memulai perang yang ditentang oleh PBB, maka NOC harus dijatuhi sanksi,” kata Sylvia Schenk, seorang pengacara dan pakar tata kelola olahraga dari Jerman yang memberi nasihat kepada IOC tentang hak asasi manusia, dilansir dari AP.
Tetapi NOC negara mana pun dapat memilih untuk memboikot Olimpiade berdasarkan prinsip kejujuran yang dipegang, mengetahui jika di Lausanne (markas ICO) tindakan itu tak akan mudah dilupakan atau dimaafkan.
Tidak ada negara yang memboikot Olimpiade sejak Korea Utara melakukannya terhadap tetangganya, Korea Selatan, yang menjadi tuan rumah untuk gelaran edisi 1988 silam di Seoul.
Itu menutup periode berbeda dalam sejarah Olimpiade setelah boikot signifikan di setiap gelaran musim panas dari 1976 hingga 1984. Jadi sepanjang penyelenggarannya sejak 1896, tercatat sudah enam kali terjadi boikot dalam event empat tahunan tersebut.
1) Olimpiade Melbourne 1956
Sebanyak delapan negara, termasuk Mesir, Irak, Kamboja dan Lebanon mengumumkan tidak akan ambil bagian dalam Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia sebagai respons atas Krisis Suez, yang dipicu oleh invasi yang dilancarkan Israel, Inggris Raya dan Prancis.
Pada sisi lain, Belanda, Spanyol dan Swiss memboikot Olimpiade Melbourne 1956 sebagai bentuk protes atas kehadiran Uni Soviet sehubungan dengan penghancuran Revolusi Hungaria. Sedangkan Cina juga memilih boikot karena Taiwan diizinkan berkompetisi.
2) Olimpiade Tokyo 1964
Tiga negara memboikot gelaran Olimpiade Tokyo 1964, termasuk Indonesia. Bersama Cina, Indonesia memilih untuk tidak berpartisipasi karena GANEFO, yang merupakan tandingan untuk Olimpiade.
GANEFO diadakan untuk para atlet dari apa yang disebut negara-negara berkembang, terutama yang baru merdeka. Event tersebut digelar di Jakarta pada 1963 dab beranggotakan 36 federasi olahraga.
Korea Utara juga akhirnya menarik kontingennya dari Olimpiade 1964 sesaat sebelum event bergulir, karena IOC menolak menerima atlet yang telah berpartisipasi dalam GANEFO.
3) Olimpiade Montreal 1976
Total 29 negara memboikot Olimpiade 1976 di Montreal, Kanada karena penolakan IOC untuk melarang Selandia Baru, usai tim rugbi mereka tur ke Afrika Selatan pada awal tahun tersebut, yang bertentangan denga seruan PBB untuk embargo olahraga.
Mayoritas yang melakukan boikot adalah negara-negara Afrika, termasuk Kongo, Nigeria, Aljazair hingga Etiopia. Mesir, Maroko dan Kamerun menyusul, memutuskan mundur meski telah sempat berpartisipasi selama beberapa hari.
Taiwan juga memilih memboikot Olimpiade Montreal terkait masalah dengan Cina. Mereka menarik diri ketika pemerintah Liberal Kanada di bawah Pierre Trudeau bahwa nama Taiwan tak diizinkan sebab negaranya sudah mengakui Cina pada 1970.
Kanada coba berkompromi dengan mengizinkan Taiwan menggunakan bendera dan lagu kebangsaannya di Olimpiade. Namun, ditolak. Pada 1979, IOC menetapkan dalam Resolusi Nagoya bahwa Cina setuju untuk berpartisipasi dalam event mereka jika Taiwan disebut sebagai Cina Taipei.
4) Olimpiade Moskow 1980
Olimpiade Moskow 1980 menandai boikot terbesar yang pernah terjadi sepanjang sejarah multi-event olahraga itu. Total ada 66 negara memilih untuk tidak mengikuti gelaran di ibu kota Uni Soviet (Rusia) tersebut.
Boikot Olimpiade 1980 diprakarsai oleh Amerika Serikat sebagai bentuk protes atas invasi Uni Soviet ke Afghanistan. Ide itu muncul untuk pertama kali dalam pertemuan NATO pada Desember 1979.
Beberapa negara yang memilih tidak hadir karena alasan berbeda. Taiwan menolak berpartisipasi karena tidak puas dengan hasil Resolusi Nagoya, meskipun Cina juga memboikot Olimpiade Moskow.
5) Olimpiade Los Angeles 1984
Boikot Olimpiade 1984 di Los Angeles terjadi setelah Amerika Serikat (AS) memimpin gerakan penolakan terhadap event yang sama di Moskow empat tahun sebelumnya.
Uni Soviet menungumkan niatnya memboikot Olimpiade Los Angeles, menyinggung masalah keamanan dan sentimen chauvinistik dan histeria anti-Soviet yang dikobarkan AS
Kali ini, pemboikotan melibatkan 14 negara dan sekutu Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet, yang lalu membuat event tandingan, Friendship Games pada Juli dan Agustus 1984.
6) Olimpiade Seoul 1988
Dalam persiapan Olimpiade 1988 di Seoul, Korea Selatan (Korsel), IOC bekerja keras untuk mencegah boikot terjadi lagi oleh Blok Timur seperti terjadi pada edisi sebelumnya di Los Angeles.
Situasinya diperparah dengan kurangnya hubungan diplomatik antara Korsel dengan negara-negara komunis. Ini mendorong Presiden IOC Juan Antonio Samaranch mengambil langkah yang diperlukan.
Deklarasi Meksiko 1984 pun dibuat, yang menawarkan dukungan untuk berpartisipasi dalam Olimpiade 1988 oleh semua anggota asosiasi NOC. Kesepatakan dengan Uni Soviet tercapai pada 1987.
Namun, konflik lainnya adalah keterlibatan Korea Utara (Korut) menjadi tuan rumah bersama Olimpiade 1988, sebuah ide yang didorong oleh Presiden Kuba Fidel Castro. Alhasil, IOC menggelar rapat dengan NOC Korsel dan Korut.
Korut menuntut 11 dari 23 cabang olahraga dan upacara pembukaan dan penutupan khusus. Negosiasi ini gagal. IOC tidak bisa memenuhi keinginan itu. Korut bersama Kuba pun memboikot Olimpiade Seoul.
Sementara Etiopia, Albania, Seychelles tidak menanggapi undangan dari IOC, sedangkan Nikaragua dan Madagaskar memilih mundur karena masalah finansial.
Berita Olimpiade lainnya:
Tradisi Tato 5 Cincin Olimpiade di Kalangan Olimpian, 2 Perenang Amerika Serikat Ambil Peran Penting
Rusia Klaim Upaya Boikot Olimpiade 2024 Bisa Merusak Olahraga