- Media di Indonesia saat PSIS Semarang berjaya pada Kompetisi PSSI Perserikatan musim 1986-1987 dijuluki si jago becek.
- Namun, bek kiri PSIS Semarang saat juara Perserikatan 1987 itu tak membenarkan kalau mereka adalah tim spesialis main di lapangan becek.
- PSIS Semarang yang pada Kompetisi PSSI Perserikatan 1986-1987 kuat karena punya 'sesuatu' yang terencana serta modern.
SKOR.id - Persebaya, Persija, PSMS, dan Persib adalah tim unggulan Kompetisi PSSI Perserikatan 1986-1987, sedangkan PSIS Semarang berstatus kuda hitam.
Namun, PSIS Semarang pada Kompetisi PSSI Perserikatan 1986-1987 membuat kejutan dengan tampil stabil dan spartan untuk jadi juara.
Kejutan pertama, PSIS Semarang menjuarai wilayah timur fase awal Divisi Utama Kompetisi PSSI Perserikatan 1986-1987.
Anak asuh Sartono Anwar memilini poin 14 dari 10 laga dan unggul atas Persebaya dan Persipura yang berada di posisi dua serta tiga.
Berita Perserikatan Lainnya: Persija Sukses Juara Perserikatan Terakhir dengan Gaya Main Ala Timnas Italia
Kala itu, nilai akhir fase awal Persipura adalah 12 dan Persebaya satu poin di bawahnya. Tiga tim ini pun lolos ke 6 besar yang terlaksana di Jakarta.
Baca Juga: 8 Pelatih Belanda untuk Klub Liga Indonesia, 2 Nama Tangani Skuad Garuda
Sejak lolos ini, PSIS Semarang pun mendapatkan julukan baru sebagai si jago becek. Sebab, tim ini jika main saat hujan dan lapangan basah sulit dikalahkan lawan.
"Soal julukan si jago becek, itu tak begitu. Media saja yang saat itu menjuluki kami seperti itu," ujar bek kiri PSIS era itu, Budiawan Hendratno.
"Sebab, kami juga ketika bermain di lapangan basah dan becek mengalami kesulitan, sama dengan lawan kami," tuturnya kepada Skor.id pada Senin (4/5/2020) malam.
"Saat itu saja, lawan mungkin mikir dua kali kalau lawan PSIS dan hujan. Padahal, hal itu lebih kepada pemberitaan.
Lantas, apa penyebab PSIS Semarang selalu tampil apik pada fase awal Kompetisi PSSI Perserikatan 1986-1987 itu?
Berita PSIS Semarang Lainnya: Pelatih PSIS Semarang Beberkan Kondisi Liga 1 2020 ke Media Serbia
Budiawan Hendratno dengan gamblang menyebut PSIS Semarang musim 1986-1987 tampil bagus karena chemistry antar pemain yang ada.
Lelaki yang baru mendapatkan cucu pertamanya ini mengatakan, PSIS era itu dibentuk sejak dua tahun sebelumnya dan komposisi pemainnya tak banyak berubah.
Sejak 1985, PSIS Semarang ditangani oleh Cornelis Sutadi dengan peran Sartono Anwar sebagai manajer, bukan pelatih.
Lalu, Sartono menimba ilmu ke Jerman. Sepulang dari negara Eropa dengan sepak bola yang sering berinovasi itu, kepelatihan bergeser ke Sartono dari Sutadi.
"Mas Sutadi legowo saat Pak Sartono meminta PSIS dilatihnya. Mas Sutadi juga masih di tim itu dan menjadi asisten Pak Sartono," ujar Budiawan.
"Nah, cerita soal PSIS dengan kualitas bagus dan juara ini pun dimulai. Ilmu Pak Sartono dari Jerman seolah-olah dituangkan ke kami," tuturnya.
Baca Juga: Pemotongan Gaji pada Liga Malaysia Lebih Baik dan Detail Dibanding di Indonesia
"PSIS ibarat laboratoriumnya dan kami menjadi produk-produk yang dimaksimalkan. Kami yang sebelumnya sudah menyatu bersama Mas Sutadi selama dua tahun, makin memiliki permainan yang bagus."
Namun, kinerja Sartono dan Sutadi saat itu dibantu pelatih fisik Supriyadi. Sebagai dosen dari IKIP Negeri Semarang (kini Universitas Negeri Semarang), Supriyadi memiliki perhitungan matang.
Catatan statistik Supriyadi pun digabung ilmu Sartono dari Jerman dan kebersamaan Sutadi sebagai pelatih lama, ternyata menghasilkan ramuan jitu.
Tanpa pemain berstatus bintang, PSIS Semarang pun menjelma sebagai tim dengan kinerja yang sangat bagus dan memiliki permainan tertata.
"Ada empat pemain senior PSIS musim 1983, kiper FX Tjahyono, Surajab, Rohadi, dan Syaiful Amri. Mereka digabung dengan pemain muda seperti saya serta yang lain," ucap Budiawan.
Baca Juga: Liga Thailand Siap dengan Pintu Tertutup, Pemerintah Thailand Belum Terbuka
"Hasilnya, perpaduan pemain senior dan mayoritas pilar junior ini menghasilkan kekompakan yang luar biasa. Apalagi, chemistry kami sangat kuat."
"Jadi, itulah yang membuat kami memiliki permainan stabil dan tak mudah mencapai puncak permainan pada fase awal atau pertengahan. Kami seolah disetting pas final pas di puncak permainan," tuturnya.
PSIS Semarang yang lolos ke 6 besar pun memiliki catatan lumayan, sebab finis pada posisi kedua di bawah Persebaya.
Mereka main lima kali dengan catatan dua menang, dua imbang, dan sekali tumbang dengan memiliki poin enam. (saat itu, poin kemenangan adalah dua belum tiga).
Nilai itu sama dengan Persib, tetapi klub asal Jawa Barat itu kalah selisih dan produktivitas gol. Padahal, PSIS kalah 0-1 dari Persib pada laga pamungkas 6 besar.
Baca Juga: 9 Penyerang Asing Asia Tenggara di Liga Indonesia, Satu Saja yang Juara
"Kami memang kalah saat lawan Persib dan sebelumnya hanya imbang saat bersua Persebaya pada fase 6 besar," ujar Budiawan.
"Namun, permainan kami tak jelek dan bahkan lawan kesulitan. Salah satu bukti pada pertandingan pertama 6 besar saat bersua Persija," tuturnya.
"Saat itu, manajer Persija menyebut lawan PSIS bukan soal menang kalah, tetapi mereka bisa menang dengan skor berapa. Tetapi, kami yang menang 3-1 dan sejak itu permainan PSIS makin stabil."
Akhirnya, PSIS sebagai runner-up 6 besar bersua Persebaya sebagai juara fase itu pada final Kompetisi PSSI Perserikatan 1986-1987.
Laga ini terlaksana di Stadion Utama Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno), Jakarta Pusat pada 11 Maret 1987.
Baca Juga: 4 Pelatih Asing Asia Tenggara di Liga Indonesia, 3 dari Malaysia
PSIS Semarang menang 1-0 atas Persebaya Surabaya dan gol tunggal tim yang memiliki julukan Goyang Semarang dicetak Syaiful Amri pada menit ke-77.
"Kami ke final bukan dengan status unggulan, PSIS juga bukan tim bertabur bintang. Kami menghadapi Persebaya dengan bekal optimistis saja," ujar Budiawan.
"Kata-kata Pak Sartono di ruang ganti sangat sederhana. Kami diminta tak memikirkan lawan dan biar lawan yang memikirkan PSIS. Itu motivasi luar biasa dari pelatih."
"PSIS juga santai dianggap bukan unggul, apalagi sebelum final lawan Persebaya, kami kalah dari Persib," ucap purnakarya Bulog ini.
"Tetapi, sinkronisasi pelatih dan kerja keras plus kebersamaan pemain membuat PSIS juara," tuturnya mengakhiri.