- Petinju kelas berat Dillian Whyte mengalami kehidupan yang lumayan berat saat tumbuh besar di London, Inggris.
- Ia sempat tertembak, tertusuk, terjebak perang antar-geng, dan menjadi ayah pada usia 13 tahun.
- Kickboxing menjadi jalan pembuka Dillian Whyte sebelum terjun ke dunia tinju pada tahun 2009.
SKOR.id – Dillian Whyte harus melewati perjalanan panjang sebelum menjadi dirinya yang sekarang: juara tinju kelas berat dan mantan artis mixed martial profesional.
Malam ini, Sabtu (22/8/2020), Dillian Whyte, petinju asal Inggris kelahiran Jamaika, kembali naik ke atas ring untuk melawan Alexander Povetkin di final Matchroom Fight Camp.
Hijrah bersama keluarganya ke Inggris saat berusia 12 tahun, “The Body Snatcher”, julukan Dillian Whyte, tumbuh besar di antara gedung-gedung beton di Brixton, London.
Pada masa itu, Whyte mengakui tinju adalah senjatanya untuk melepaskan diri dari masalah, kecuali saat pistol dan pisau tajam ikut terbawa ke tengah perkelahian.
Sebagai anak jalanan, petinju kelas berat berusia 31 tahun itu ditembak dua kali dan ditikam tiga kali di jalanan London Selatan yang dipenuhi angota geng kriminal.
Kehidupan Whyte berubah secara dramatis ketika dia menjadi seorang ayah untuk pertama kalinya pada usia 13 tahun.
Namun, itu tidak menghentikan petinju 193cm ini untuk meraih sukses dalam hidupnya.
Preman Brixton
Dillian Whyte lahir dalam kemiskinan. Ibunya meninggalkan rumah keluarganya di Portland, Jamaika ketika dia masih balita untuk mencari pekerjaan di London.
"Kadang, kami tidak bisa makan dan tidur dalam keadaan lapar. Ibu menitipkan saya kepada orang-orang yang tidak merawat saya dengan baik,” ujar Whyte pada BBC Sport.
"Mereka mengambil uang yang dikirim oleh ibu saya dan mengatakan pada saya bahwa dia tidak mengirim apa pun."
View this post on Instagram
Baru pada tahun 2000, Whyte dan saudaranya, Dean bisa tinggal bersama ibunya di Brixton. Tapi lingkungan di sana mempengaruhi masa remajanya.
Dia sempat kena tikam tiga kali, sekali menjahit lukanya sendiri, alih-alih menuju ke rumah sakit lokal King's College Hospital di Camberwell.
Ketika terjebak dalam perang antar-geng di Clapham, Whyte tertembak dua kali dan harus mengeluarkan peluru dari kakinya sendiri karena tak ingin membuat susah sang ibu.
"Saya menghormati ibu saya. Saya tidak pernah ingin membawa polisi ke rumah. Tak peduli apa yang saya lakukan atau seberapa buruk saya.”
Karena tubuhnya yang besar, Whyte remaja sering dimintai tolong untuk mengusir para preman dan perusuh yang berkeliaran di sekitar sekolah dan rumahnya,
Dia melakukannya dengan senang hati walaupun hanya diberi imbalan uang receh dan roti sandwich. Bayarannya paling banyak 2 pound atau kurang dari Rp40 ribu.
"Saya selalu menjadi petarung," kata Whyte kepada Daily Mirror. "Saya tidak pernah punya pilihan. Saat tumbuh dewasa saya harus bertarung untuk bertahan hidup.
Tangis sang Ibu
Di akhir masa remajanya, Dillian Whyte mendapati dirinya harus mendekam di balik jeruji besi di Bristol. Ia menghadapi ancaman penjara hingga 20 tahun.
Kunjungan emosional dari ibu dan saudara perempuannya akhirnya membuka mata Whyte yang benci melihat mereka menangis karenanya.
"Kakak laki-laki saya meninggal dan Ibu mengatakan dia tidak ingin kehilangan anak laki-laki lagi,” kata Whyte kepada Daily Mail.
View this post on InstagramDidn't think I would still be live at this age thank god I am and making my mother proud ❤❤
Dan, Dallian Whyte tidak pernah ingin mengecewakan ibunya.
"Ketika Ibu datang ke penjara, dia berkata, 'Nak, kita telah melalui begitu banyak hal dalam hidup'. Saya melihat wajah ibu saya dan air mata mengalir di pipinya dan saya merasa merasa malu."
Whyte pun bertekad untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Memilih Tinju
Dillian Whyte membutuhkan sesuatu untuk menyalurkan kemarahan dan agresinya saat tumbuh dewasa, dan dia menemukannya dalam disiplin tinju.
Bisa dikatakan Miguel's Gym memberinya platform untuk membangun kehidupan lain untuk dirinya sendiri.
"Saya tidak berprestasi di sekolah, tetapi tinju menyelamatkan saya dan mengubah hidup saya," kata Whyte suatu kali.
"Dan itu berjalan baik, karena saya tahu itu kesempatan terbaik saya dalam hidup."
Namun sebelum itu Whyte mencoba kemampuannya di kickboxing profesional dan sukses.
Dia dua kali juara kickboxing kelas berat Inggris, merebut gelar BIKMA Super Heavyweight British Championship, dan juga satu kali juara European K1.
Whyte mengakhiri karier K1-nya dengan rekor impresif 20 kemenangan dan hanya satu kali kekalahan, sebelum beralih ke MMA.
Pada tahun 2008, Whyte bertarung di arena Ultimate Challenge MMA dan mengalahkan Mark Stroud dengan hook kiri yang fatal dalam 12 detik ronde pertama.
Jadi Ayah
Ketika usianya 13 tahun, Whyte sudah jadi ayah dan itu berarti ia harus dewasa lebih cepat.
"Saya seorang ayah yang masih remaja dan harus merawat anak-anak. Maka itu saya harus mempercepat kondisi mental saya," katanya kepada 1News.
Whyte menyadari hidupnya berubah ketika ia menjadi ayah.
“Ketika remaja lain berpesta di jalanan, saya harus mengerjakan dua pekerjaan, melakukan hal-hal lain untuk mendapatkan uang guna memberi makan anak-anak saya.”
Maka Whyte selalu berusaha memenangkan tiap pertarungan untuk anak-anaknya memiliki kehidupan yang baik. “Mereka tidak boleh berjuang hidup seperti saya."
Tinju Amatir
Pada tahun 2009, Dillian Whyte memulai karier tinju di level amatir.
Dan untuk pertarungan pertamanya, pada usia 20, dia berhadapan dengan juara kelas berat masa depan Inggris, Anthony Joshua.
Pada akhirnya, Whyte memenangkan duel tiga ronde itu dengan keputusan bulat.
Dalam duel lainnya, ia meninggalkan lawan amatir lainnya dalam keadaan koma setelah menjatuhkannya – yang membuatnya dapat julukan “The Body Snatcher”.
Tapi karier amatir Whyte berumur pendek akibat perselisihan dengan ABA mengenai latar belakang kickboxingnya. Ia beralih level profesional pada 2011.
View this post on InstagramMe and the big man @andybrowncpo there was no messing about last night #TEAMBODYSNATCHER
Gagal Doping
Pada 2012, Dillian Whyte gagal dalam tes narkoba setelah kemenangannya atas petinju Hongaria, Sandor Balogh.
Dia dinyatakan positif menggunakan stimulan terlarang methylhexaneamine (MHA), yang diklaim Whyte sebagai suplemen nutrisi yang disebut Jack3D.
Whyte pun divonis larangan bertinju selama dua tahun.
Ia mengajukan banding setahun kemudian, tetapi ditolak meskipun pengadilan menerima klaim bahwa dia tidak dengan sengaja mengosumsi MHA.
Apapun keputusan pengadilan saat itu, yang jelas Dillian Whyte sekarang lebih kuat dari sebelumnya.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube, dan Twitter dari Skor Indonesia.
Gawang Arema Jadi Langganan Bambang Pamungkas Sejak Usia 21 Tahunhttps://t.co/gdtlpGt47l— SKOR Indonesia (@skorindonesia) August 22, 2020
Berita Entertainment Lainnya:
Ansu Fati, The Next Lionel Messi yang Pilih Manajemen Cristiano Ronaldo