- FIFA ikut berduka terkait Tragedi Kanjuruhan.
- Lembaga sepak bola dunia ini pun mengibarkan bendera setengah tiang.
- Selanjutnya, ada kekhawatiran sanksi FIFA, termasuk status sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
SKOR.id - Presiden FIFA, Gianni Infantino, telah menyatakan pernyataan resmi terkait sikap FIFA tentang peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Pernyataan belasungkawa FIFA ini disampaikan secara resmi pada Minggu (2/10/2022) atau beberapa jam setelah peristiwa tragis yang terjadi setelah laga Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya tersebut.
"Sepak bola dunia terkejut dengan peristiwa tragis yang terjadi di Indonesia," kata Gianni Infantino dalam pernyataannya tersebut.
Seiring dengan pernyataan itu pula, FIFA mengumumkan bahwa sejak pernyataan resmi itu disampaikan, semua bendera negara anggota FIFA dikibarkan atau diturunkan setengah tiang.
Pengibaran bendera setengah tiang tersebut sebagai bentuk dukungan, bahwa FIFA dalam situasi yang menyedihkan ini bersama-sama masyarakat Republik Indonesia dan khususnya mereka yang wafat serta keluarga yang terdampak dari peristiwa yang terjadi pada Sabtu (1/10/2022) malam itu.
Dalam situs resmi FIFA yang juga beredar di akun resmi lembaga sepak bola dunia ini memperlihatkan bagaimana barisan bendera para anggota FIFA yang memang berada di markas lembaga tersebut, di Zurich, Swiss, diturunkan setengah tiang.
Selain bendera para anggota tersebut, bendera FIFA juga diturunkan setengah tiang. Semua itu sebagai bentuk dari simpati dan kesedihan atas korban tewas yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.
“The football world is in a state of shock following the tragic incidents that took place in Indonesia" FIFA President Gianni Infantino said.
All FIFA Member Association & Confederation flags are now flying at half-mast at FIFA HQ, in tribute to all those who lost their lives.— FIFA.com (@FIFAcom) October 2, 2022
Apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan memang merupakan peristiwa kelam dalam sejarah sepak bola yang menjadi perhatian lembaga sepak bola dunia tersebut.
Dunia terkejut dengan malam kelam yang terjadi pada akhir pekan lalu itu. "Ini adalah hari yang gelap dalam sepak bola, tragedi yang sangat sulit untuk kita pahami," kata Gianni Infantino.
"Saya menyampaikan rasa duka saya yang mendalam untuk keluarga dan kerabat yang menjadi korban dalam insiden tersebut," dia menambahkan.
Ucapan dan sikap berduka untuk Indonesia pun diberikan oleh berbagai pihak, termasuk tentunya dari para asosisasi dan federasi sepak bola negara-negara di dunia.
Besarnya perhatian tersebut tidak terlepas pula dari begitu banyaknya korban nyawa. Hingga Selasa ini, menurut data Mabes Polri, korban tewas dari Tragedi Kanjuruhan mencapai 125 orang.
Sementara itu, menurut informasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengutip keterangan suporter tim bola Arema FC atau Aremania, korban tewas lebih dari angka tersebut, mencapai 133 korban tewas.
Dari jumlah korban ini pula, Tragedi Kanjuruhan menjadi korban tewas terbanyak setelah tragedi di Stadion Nacional, Lima, Peru pada 1964 yang menyebabkan 328 orang tewas.
Dibayangi Sanksi FIFA
Pemerintah Indonesia pun langsung membentuk Tim Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan.
Melalui Menkopolhukam, Mahfud MD, dan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali, telah membentuk Tim Pencari Fakta yang terdiri dari 13 personel.
Diharapkan dengan Tim Pencari Fakta ini dapat diketahui peristiwa tersebut termasuk penyebabnya secara terang benderang.
Tragedi Kanjuruhan telah menjadi isu dunia. Wajah sepak bola Indonesia pun kini dipertaruhkan.
Tentu saja, semua upaya, harapan, dalam mengungkap kebenaran peristiwa Kanjuruhan dilakukan atas nama kemanusiaan.
Sejak peristiwa kelam tiga hari lalu itu, banyak bermunculan berbagai opini, termasuk di media sosial.
Salah satu yang muncul ke permukaan adalah "apakah akan ada sanksi FIFA" karena Tragedi Kanjuruhan tersebut.
Bendera setengah tiang adalah bentuk sikap FIFA terkait Tragedi Kanjuruhan. Namun, di dalamnya juga ada sikap "menyesali" bahwa peristiwa itu terjadi.
Sebagai lembaga sepak bola dunia, FIFA memiliki kepentingan untuk menjaga sepak bola berada dalam image yang benar.
Yang terjadi di Stadion Kanjuruhan bukanlah wajah sepak bola yang selama ini dikenal.
FIFA selalu mengkampanyekan tentang nilai-nilai tentang sepak bola, termasuk memberikan rasa aman kepada penonton bahkan kepada lingkup terkecil yaitu keluarga untuk datang ke stadion menyaksikan pertandingan sepak bola.
Kontradiksi inilah yang kini bisa menjadi potensi akan adanya sanksi FIFA kepada sepak bola Indonesia.
Harus diakui bahwa Tragedi Kanjuruhan memperlihatkan bahwa sebagai anggota FIFA, Indonesia gagal memenuhi unsur tersebut.
Di sisi lain, terkait peraturan, ada celah yang memang membuat sanksi tersebut bisa terjadi. Peraturan tersebut terkait larangan gas air mata digunakan di dalam stadion.
Tembakan gas air mata oleh aparat polisi, saat mengamankan penonton laga Arema FC vs Persebaya Surabaya merupakan pelanggaran kode keamanan FIFA (Pasal 19 b).
Disebutkan dalam peraturan FIFA tersebut bahwa "Senjata atau gas pengendali massa tidak boleh dibawa atau digunakan."
Meski demikian, terkait kemungkinan sanksi FIFA, dapat dilihat dari sisi sejarah ketika peristiwa seperti ini juga pernah terjadi.
Seperti disebutkan sebelumnya, ada peristiwa yang juga lebih dahsyat dari aspek jumlah korban yaitu yang terjadi di Peru pada 1964 silam itu.
Insiden atau peristiwa sepak bola yang menyebabkan jatuhnya korban tentu juga pernah terjadi, seperti 74 orang tewas dan lebih dari 150 lainnya terluka setelah pertandingan River Plate vs Boca Juniors pada 23 Juni 1968.
Atau peristiwa Hillsborough di Inggris, pada 15 April 1989 yang menyebabkan 96 tewas dan ratusan terluka.
Saat itu, suporter yang sudah berbondong-bondong datang ke Stadion Hillsborough untuk menyaksikan pertandingan tersebut.
Namun, jumlah mereka terlalu banyak untuk menjejali stadion yang kini berkapasitas 39 ribu orang tersebut berdesak-desakan.
Tapi, fakta bahwa dari semua insiden yang melibatkan korban nyawa suporter, tidak ada satu pun sanksi dari FIFA.
Hanya, untuk kasus Tragedi Kanjuruhan, pelanggaran gas air mata bisa menjadi alasan untuk FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia.
Inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran di Tanah Air. Apa saja sanksi tersebut?
Larangan petandingan kompetisi liga, keanggotaan Indonesia di FIFA terancam, kompetisi yang tanpa penonton, hingga dibatalkannya status tuan rumah Indonesia sebagai Piala Dunia U-20. Dan, tentu masih banyak kemungkinan sanksi lainnya.
Mengkhawatirkan sanksi FIFA menjadi kondisi yang tidak elok di tengah situasi ketika masih berduka. Tapi, kekhawatiran itu nyata.
Karena itu, terlepas dari kekhawatiran ancaman sanksi tersebut, ini menjadi refleksi untuk kesekian kalinya, betapa masih banyak yang harus dibenahi dari sepak bola Indonesia.
Apa target untuk membangun sepak bola Indonesia? Ternyata, bukan hanya harapan meraih prestasi, melainkan dari aspek paling dasar kemanusiaan yaitu, bagaimana untuk tetap menjaga rasa aman dan keselamatan bagi semua pihak.
Sikap rasa aman dan selamat ini harus menjadi kesadaran bersama, dimulai dari diri sendiri, suporter, petugas kepolisian, panitia pertandingan, klub, pemain, dan tentu semua yang terkait dengan sepak bola di Tanah Air.
Bendera setengah tiang memang hanya di ada di Zurich, namun itu harusnya cukup untuk mengetuk hati nurani kemanusiaan di Tanah Air tentang Tragedi Kanjuruhan.
Baca Juga Berita Tragedi Kanjuruhan Lainnya:
Kemenangan Timnas U-17 atas Guam Dipersembahkan untuk Korban Tragedi Kanjuruhan