- Mantan pemain asing asal Cile yang pernah berkiprah di Liga Indonesia, Jaime Rojas berbicara soal tim kultur sepak bola di Tanah Air.
- Jaime Rojas memiliki sekolah sepak bola (SSB) yang berada di Bali.
- Sementara itu, Anak Jaime Rojas memilih menjadi petenis ketimbang pesepak bola.
SKOR.id - Jaime Rojas adalah mantan pemain asing berposisi gelandang serang yang pernah berkarier di Liga Indonesia cukup lama.
Salah satu tim yang pernah dibela Jaime Rojas adalah Arema Malang. Dia berseragam tim berjulukan Singo Edan selama tiga musim.
Masih ada beberapa tim yang pernah dibela oleh pria asal Cile tersebut, termasuk PSMS Medan.
Secara ekslusif kepada Skor.id, Jaime Rojas bercerita bagaimana dia bisa berlabuh ke Indonesia dan meniti karier di kompetisi Tanah Air ini.
Tak hanya itu, Jaime Rojas juga mengungkapkan bahwa dirinya telah membangun sekolah sepak bola (SSB) di Bali.
Jaime pun mengaku kalau sudah ada pemain dari SSB tersebut yang menjadi bagian timnas Indonesia kelompok umur.
Namun uniknya, putra Jaime Rojas yang bernama Maximo Rojas tak mengikuti jejak sebagai pesepak bola.
Maximo Rojas lebih memilih menjadi petenis, meski sempat berlatih sepak bola bersama Jaime Rojas.
Berikut adalah wawancara ekslusif Skor.id dengan Jaime Rojas:
Bisa berkarier di Indonesia sebagai pesepak bola, waktu itu bagaimana ceritanya?
Awalnya saya dulu main di Cile untuk tim yang paling bagus sekarang di liga. Lalu, ada orang namanya Edi Sofyan lihat saya di Belanda, terus bicara untuk bawa saya ke Indonesia.
Sebetulnya pertama saya tidak terlalu tertarik tapi dari situ kami coba datang di Indonesia, cuaca super beda di Amerika Latin dengan Indonesia.
Tetapi oke, pemain bola mau berkarier di mana saja bisa, ternyata bisa sukses di sini, saya main di Arema, Persema, PSMS Medan, PSM Ujung Pandang (Makassar).
Apa yang membuat Anda yakin untuk bisa berkarier di Indonesia?
Saya datang usia 27 tahun. Saya memang ingin bermain di luar negeri, lalu ada kesempatan untuk bermain di Indonesia, oke saya terima.
Tetapi seperti yang saya bilang, cuaca terlalu beda, terlalu panas buat saya. Tapi apa boleh buat, saya harus tinggal di sini (Indonesia) dan hidup saya memang ternyata di sini.
Lalu, saya punya keluarga dan anak yang punya karier lain tidak seperti saya. Tetapi saya support dia selalu.
Apa tim pertama Anda ketika berkarier di Indonesia?
Persema Malang, lalu pindah PSM Ujung Pandang (PSM Makasssar), PSMS Medan, dan Arema Malang selama tiga musim.
Tim mana yang paling berkesan untuk Anda?
Arema Malang. Karena mereka memiliki suporter yang luar biasa, saya suka, sangat senang dengan euforia ketika Arema bermain.
Selain itu, PSMS Medan, waktu itu kami memiliki tim yang bagus, bisa bermain di semifinal (Liga Indonesia) di Senayan.
Bagaimana kualitas sepak bola Indonesia waktu itu?
Jujur saya tidak ingin bicara soal itu. Tapi memang waktu itu permainan keras dan kasar. Tetapi yang saya lihat pemain-pemain Indonesia itu bagus, hanya faktor mental yang kurang.
Saya dulu pernah bilang ke wartawan kalau pemain-pemain Indonesia memiliki mental yang bagus, pasti permainannya juga bagus.
Bagaimana cara Anda beradaptasi dengan kultur sepak bola Indonesia?
Dulu saya datang ke Indonesia memang lucu sekali, karena saya tidak bisa berbahasa Indonesia, tidak bisa berbahasa Inggris, itu pengalaman lucu.
Saya tahu permainan di Indonesia cepat tapi kurang teknik. Hanya saja, saya bisa mengikutinya.
Kalau untuk bisa berbahasa Indonesia, saya dibantu dengan teman-teman di tim, memang sangat susah. Tetapi, saya mulai bisa komunikasi sekitar enam sampai tujuh bulan.
Kenapa Anda tidak menjadi pelatih seperti mantan pemain asing yang bermain di Indonesia lainnya?
Saya sudah memiliki sertifikat (lisensi) B AFC. Saya buat sama Kurniawan (Dwi Yulianto) dan Bima Sakti. Tetapi kurang (lisensi) A untuk menjadi pelatih.
Mungkin dalam waktu dekat saya mau bikin. Untuk sekarang, saya fokus kepada anak saya karena dia punya karier di tenis.
Saya menjadi supir dia, menjadi suporter, pelatih fisik dia, saya banyak kerja sama dengan dia.
Anak Anda memilih menjadi petenis, apakah itu Anda yang mengarahkan?
Dia bermain bola bagus, kaki kirinya istimewa, susah mendapat pemain kaki kiri. Saya bilang ini pasti akan menjadi pemain timnas (Indonesia) nanti.
Karena, dia punya skill bagus, postur juga tinggi. Tetapi satu sampai tiga tahun mulai bola, setelah itu dia mau pindah.
Dia bicara kepada saya kalau mau pindah olahraga. Saya yakin kepada dia kalau nantinya bisa menjadi pemain timnas apalagi di Indonesia.
Saya sudah meyakinkan dia, tapi anaknya memang mau bermain tenis. Saya lihat dia lama-lama ada juga skill, dia main bagus, dan menang turnamen. Sekarang saya selalu support dia.
Anak Anda sempat berlatih di SSB?
Ya, waktu itu pernah berlatih di SSB JSA. Tetapi, dia juga suka berlatih di SSB yang saya punya di Bali. Dia mulai berlatih di SSB dari usia tujuh sampai 10 atau 11 tahun.
Apa nama SSB yang Anda punya?
Jima Soccer Academy dan sudah 10 tahun berdiri. Sudah ada pemain gabung timnas Indonesia (kelompok usia), seperti I Made Putra Kaicen, dan satu lagi Kadek Arel.
Waktu itu, saya kirim tiga pemain untuk seleksi di timnas (U-16) kiper, bek, dan striker, tetapi yang masuk dua.
Apa alasan Anda membuat SSB?
Saya memiliki niat untuk membuat pemain, seperti Kaicen itu. Saya ingin mengubah psikologis anak-anak agar selalu percaya diri.
Mereka lebih percaya diri kalau main. Sebab kalau salah, semua pemain pasti punya salah, (Lionel) Messi juga seperti itu.
Kalau punya rasa percaya diri, itu pasti bagus. Selain itu skill dan fisik juga, karena kalau tidak ada stamina memadai tidak bisa menjadi pemain bagus, itu penting sekali.
Saya bilang kepada para pelatih di sana, utamakan buat pemain bagus. Kami cari orang baik, kalau ada kualitas tetapi tidak latihan sama saja.
Yang utama adalah harus latihan keras, mental bagus, dan latihan fisik. Usia dari enam sampai 16 tahun, siswa ada 100.
Semua posisi kami punya pelatih semua dan semua orang Bali. Kalau ada waktu juga saya bantu melatih anak-anak, terus terang saya sekarang fokus kepada anak saya.
Kalau sempat, saya bawa Gaston Castano, Jonathan Bauman untuk mereka (anak-anak) lihat kalau dia adalah pesepak bola.
Bagaimana Anda melihat bibit-bibit muda di Bali?
Saya lihat anak-anak di Bali sangat bagus tapi sampai 16 tahun, habis itu hilang, mungkin mentalnya kurang.
Kaicen dulu tidak terlalu bagus, tetapi dia mau berusaha, mental juga bagus, dan dia bisa masuk timnas (kelompok usia). Saya bangga.
Baca juga berita Liga 1 lainnya:
Pelatih Persib Sebut Marc Klok Keracunan dan Ricky Kambuaya Kemungkinan Hernia
Tembus Final Piala Presiden 2022, Pelatih Borneo FC Singgung Pemain Bintang