- Kepala Development Center PT Putra Sleman Sembada (PSS), Guntur Cahyo Utomo, berbagi cerita soal pembinaan pemain usia dini.
- Guntur Cahyo Utomo menjelaskan, pembinaan pemain usia dini di Indonesia sudah mulai menunjukkan geliat ke arah positif.
- Meskipun demikian, Guntur Cahyo Utomo juga membeberkan sejumlah masalah yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk pembinaan pemain usia dini
SKOR.id – Pembinaan pemain usia muda menjadi salah satu aspek fundamental dalam menopang dunia sepak bola suatu negara.
Sebab, ini menjadi landasan awal yang amat penting. Pada tataran ini, pemain usia muda diasah dan disiapkan untuk menjadi pesepak bola profesional di masa mendatang.
Gairah pembinaan usia muda di Indonesia belakangan mulai menggeliat. Hal itu juga selaras dengan kebijakan PSSI menggulirkan Elite Pro Academy (EPA) untuk Liga 1.
Dalam pembinaan pemain usia dini, kompetisi menjadi kebutuhan primer. Sebab, ini menjadi ruang bagi pemain muda untuk terbiasa menghadapi iklim kompetitif sejak dini.
Kepala Development Center PT Putra Sleman Sembada (PSS), Guntur Cahyo Utomo, mengamini hal tersebut.
Semenjak beberapa tahun terakhir, Guntur melihat geliat perkembangan pembinaan usia muda di Indonesia.
Mantan asisten pelatih Indra Sjafri di timnas U-19 Indonesia itu mengatakan, hal ini turut diperkuat dengan sejumlah pemain muda Indonesia yang mulai merambah Eropa.
Sebut saja Egy Maulana Vikri, Witan Sulaeman, Brylian Aldama, dan Amiruddin Bagus Kahfi.
Menurut Guntur, ini bisa dianggap sebagai sebuah indikator keberhasilan dalam konteks pembinaan usia dini.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, sepak bola adalah fenomena struktural yang tak semestinya hanya dilihat dari satu aspek saja.
Sebab, hal ini harus dipahami dalam hubungannya dengan fenomena yang lebih besar.
Lebih lengkapnya, berikut kutipan wawancara Skor.id dengan Guntur Cahyo Utomo soal pembinaan pemain usia dini:
Bagaimana respons Anda soal empat pemain PSS Sleman U-16 yang dipanggil Timnas U-16 Indonesia?
Ya tentu saja kami merasa bangga dan bersyukur. Intinya, pemanggilan empat pemain ini saya gunakan sebagai indikator bahwa apa yang kami lakukan di Development Center ini mendapat apresiasi.
Selain itu, aktivitas pembinaan pemain usia dini kita juga mendapat perhatian dari timnas. Dengan kata lain, apa yang kami lakukan tidak sia-sia. Hal ini akan menjadi semangat kami untuk bekerja lebih baik lagi.
Apakah ini bukti PSS Sleman serius dengan pembinaan pemain usia dini?
Bisa dibilang demikian. Namun, saya lebih memilih untuk mengatakan bahwa ini menjadi indikator, atau tanda bahwa kami telah bekerja di jalur yang semestinya.
Maka, jika ditanya, apa indikator kesuksesan pembinaan usia muda? Maka jawabannya ialah bahwa pemain binaannya bisa naik level.
Sebab, karena kompetisi di level usia muda belum ideal, maka indikator yang bisa digunakan ya pemain binaannya dipanggil timnas.
Lalu, apa indikator kesuksesan pembinaan usia dini jangka panjang?
Kalau berbicara indikator jangka panjang, maka kita akan melihat seberapa banyak pemain yang bisa matang di level senior.
Tentu, kami berharap mereka bisa menapaki kompetisi level tertinggi, dalam hal ini Liga 1.
Namun, kami juga berharap bisa meluaskan jaringan. Mungkin mengirim pemain ke luar negeri, ke Eropa, misalnya.
Apalagi, sekarang sudah ada Egy Maulana Vikri, Witan Sulaeman, Brylian Aldama, dan Amiruddin Bagus Kahfi yang telah ke Eropa.
Sebetulnya, bukan hal mustahil pembinaan usia muda kita bisa mengirimkan lebih banyak pemain ke level yang lebih tinggi.
Jadi bukan tentang Eropa-nya, tapi lebih membuktikan bahwa pemain kita perlahan demi perlahan mampu bersaing di level yang lebih tinggi.
Jika berbicara soal pemain-pemain satu angkatan dengan Witan Sulaeman, Brylian Aldama, dan Bagus Kahfi, PSS Sleman punya satu nama pemain yang cukup penting di timnas U-19 Indonesia, yakni Saddam Emiruddin Ghafar.
Apa potensi yang Anda lihat dari Saddam? Apakah ia layak mendapat kesempatan yang sama?
Saya pikir, Saddam layak menyusul ke Eropa. Namun, saya juga tak begitu memahami perkembangan Saddam karena dia sudah bermain di tim senior PSS Sleman. Saya tak begitu mengikuti perkembangan Saddam.
Akan tetapi, saya berpendapat bahwa sebetulnya tak ada perbedaan mencolok antara pemain-pemain di timnas U-19 Indonesia.
Sehingga, pemain-pemain yang lain hanya butuh dipoles untuk mengikuti jejak pemain-pemain yang kini telah menembus Eropa.
Jadi, secara potensi, Saddam memang layak bermain di Eropa?
Ya, betul. Tapi sebetulnya tak hanya Saddam. Pemain-pemain timnas U-19 Indonesia lain saya pikir juga layak.
Jika berbicara tim-tim Liga 1, bagaimana keseriusan mereka untuk mengembangkan akademi?
Soal bagaimana kondisi tim-tim lain, saya memilih tak berkomentar. Namun, dari pengamatan saya, ada beberapa kawan yang terkoneksi langsung dengan saya, dengan PSS Sleman juga, bahwa kini terlihat ada gairah baru.
Ini membuktikan bahwa kawan-kawan lebih berani untuk menginvestasikan banyak hal agar pembinaan usia muda lebih terstruktur.
Di Luar Elite Pro Academy (EPA), bagaimana perkembangan pembinaan usia dini saat ini?
Jika soal gairah, saya pikir gairah kawan-kawan pelaku sepak bola, maupun pelatih-pelatih SSB sekarang sangat luar biasa.
Jadi, mereka saat ini memiliki acuan atau tujuan untuk menyalurkan pemain-pemain binaan mereka. Saya pikir, gairah dan semangat pembinaan usia dini di level akar rumput sudah mulai lebih besar.
Perkembangan positif apa saja yang sudah terlihat dari pembinaan usia dini di Indonesia?
Hal positif dari perkembangan pembinaan usia muda ini yakni semakin banyak pemain yang berlatih sepak bola dengan lebih baik akan berdampak positif untuk banyak hal.
Selama dua tahun terakhir, sejak hadirnya Elite Pro Academy (EPA), kini tim-tim Liga 1 semakin banyak yang melirik talenta-talenta muda untuk bisa masuk ke tim senior.
Artinya, itu salah satu indikasi bahwa gairah pembinaan pemain usia dini saat ini lebih besar.
Apa problem terbesar yang masih ada dan dihadapi pembinaan usia dini?
Jika dalam konteks Development Center PSS Sleman, problem utamanya ada di wilayah teknis. Kami akan bekerja lebih keras lagi untuk menyejajarkan level kemampuan teknis pemain menuju level kompetitif yang lebih tinggi lagi. Artinya, kesiapan pemain untuk menghadapi iklim yang level kompetitif seperti di level Asia atau di Eropa, masih harus ditingkatkan kembali.
Bagaimana meningkatkan level kompetitif pemain agar bisa melaju lebih jauh?
Memang saat ini sudah ada EPA Liga 1, tapi barangkali butuh inovasi yang lebih besar lagi untuk bisa memfasilitasi lebih banyak pemain berbakat agar bisa berkompetisi di kualitas kompetisi yang kurang lebih setara dengan EPA.
Hal itu akhirnya akan menghasilkan lebih banyak pemain-pemain berbakat yang matang di kompetisi.
Sebab, saat ini hanya ada EPA yang bisa dibilang kompetitif. Lalu, di tingkatan bawahnya ada Piala Soeratin.
Namun, itu juga masih belum bisa memfasilitasi. Karena EPA hanya mempertandingkan 18 tim Liga 1.
Itulah sebabnya, kita harus berpikir lebih luas, dalam hal ini Indonesia. Artinya, harus ada kompetisi-kompetisi yang menjangkau seluruh wilayah di Indonesia.
Sehingga, jika ada lebih banyak lagi kompetisi lain yang levelnya setara dengan EPA, maka jumlah pemain berkualitas akan lebih berlipat.
Bagaimana dengan Liga Topskor, Liga Kompas Gramedia, dan semacamnya?
Kompetisi itu (Liga Topskor dan Liga Kompas Gramedia) sangat membantu. Namun, persebarannya masih terbatas di kota-kota besar. Itu sudah sangat membantu, tapi memang butuh lebih banyak lagi kompetisi-kompetisi semacam itu.
Jadi, ketersediaan kompetisi menjadi masalah yang dihadapi pelatih di level akar rumput?
Iya. Kompetisi merupakan "wadah" untuk mengekspresikan, untuk melihat, dan akhirnya untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan teman-teman pelatih setiap hari.
Berbicara di Jogja saja, ada sekitar 100 Sekolah Sepak Bola (SSB). Namun, kalau tidak ada kompetisi yang berkualitas dan jangka waktunya bersifat panjang, ini membuat pelatih kesulitan untuk melihat apa yang kurang, apa yang harus ditambah, dan harus dikerjakan lebih jauh untuk perkembangan pemain mereka.
Saya pikir, ini menjadi kesulitan tersendiri bagi pelatih-pelatih SSB, utamanya yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Apakah lisensi kepelatihan juga penting bagi pelatih usia muda?
Sebetulnya bukan perkara lisensi, tetapi lebih ke arah edukasi untuk pelatih atau coaching education. Lisensi sebetulnya harus dilihat sebagai salah satu konsekuensi dari proses pendidikan yang dilalui pelatih.
Jadi ketika kita memiliki sistem pendidikan pelatih yang baik, kita akan memiliki banyak pemain-pemain berkualitas yang dihasilkan.
Soal lisensi, sebetulnya saat ini PSSI sudah memberikan pendidikan kepelatihan yang cukup masif dalam dua hingga tiga tahun terakhir.
Akan tetapi, kita memang butuh asupan-asupan lain yang lebih besar lagi dari berbagai pihak, baik itu swasta maupun pelatih-pelatih profesional, untuk memberikan edukasi bagi pelatih-pelatih di akar rumput.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube, dan Twitter dari Skor Indonesia.
View this post on Instagram
Berita Wawancara Eksklusif Lainnya:
Wawancara Eksklusif Aldila Sutjiadi: Saya Sudah Rindu dengan Atmosfer Pertandingan
Wawancara Eksklusif Rahmad Darmawan: Contohlah Yanto Basna, Egy Maulana, dan Witan Sulaeman