- Sportwashing menjadi salah satu kasus yang terkait dalam rumor pembelian Newcastle United oleh Pangeran Arab Saudi, Mohammed bin Salman.
- Beragam isu berada dalam pembelian ini, terlebih soal pelanggaran HAM dalam skandal pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.
- Penanganan isu sportwashing ini bisa mengubah industri sepak bola Eropa secara signifikan.
SKOR.id - Kabar rencana pembelian Newcastle United oleh konsorsium Arab Saudi (Saudi Arabia's Public Investment Fund) menjadi kabar mengejutkan di tengah pandemi Covid-19.
Meski kini pemberitaan mengenai akuisisi The Magpies makin meredup, seiring dengan persiapan kembalinya Liga Inggris, namun isu ini masih menarik untuk ditelaah lebih dalam.
Dalam skema pembelian Newcastle United, konsorsium yang diketuai Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, dikabarkan siap membayar 300 juta poundsterling (Rp5,34 triliun) untuk mengambil alih dari Mike Ashley, pemilik saat ini.
Bersamaan dengan rumor pembelian, tersebar juga kabar Newcastle United akan menjadi klub superpower.
Skuad asuhan Steve Bruce dikaitkan dengan pembelian beberapa pemain seperti Edinson Cavani dan Antoine Griezmann.
Akan tetapi, rencana ini juga dibarengi dengan munculnya isu-isu penolakan, mulai dari isu pelanggaran hak cipta yang banyak dilakukan Arab Saudi dengan mencuri tayangan eksklusif sepak bola, hingga dikaitkan dengan masalah politik yang berkaitan dengan sosok Pangeran Salman.
Mohammed bin Salman dikaitkan dalam skandal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pembunuhan jurnalis dan editor The Washington Post, Jamal Khashoggi.
Pembunuhan ini juga dikabarkan berada dalam pusaran yang lebih besar terkait keterlibatan Arab Saudi dalam Arab Spring.
Jika dikaitkan dengan isu politik tentang pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi, upaya Arab Saudi ini bisa disebut sebagai upaya Sportwashing. Apa itu?
Apa itu Sportwashing?
Istilah sportwashing mungkin sudah menjadi bahasa slang di antara jurnalis sepak bola, saat melihat adanya agenda politik besar dalam sebuah kegiatan olahraga.
Dengan definisi ringkas sebagai "cuci tangan politik lewat olahraga", tujuan di balik sportwashing ini adalah pembangunan citra politik menggunakan event olahraga.
Pembangunan citra yang dimaksud bisa sebagai counter-labelling (melawan label politik yang melekat), atau membangun citra baru atas sebuah organisasi atau negara.
Kecurigaan besar ini muncul di banyak ajang olahraga. Salah satu yang paling awal adalah saat Piala Dunia 1934 di Italia.
Pemilihan Italia sebagai tuan rumah dikaitkan dengan adanya simpatisan dari Benito Mussolini, pemimpin Italia saat itu, di dalam tubuh FIFA.
Namun, pada saat Piala Dunia 1934, istilah sportwashing ini belum digunakan. Di sisi lain, Piala Dunia 1934 dianggap sebagai bagian dari propaganda fasisme yang dilakukan Italia.
Sportwashing di industri sepak bola dan pebisnis Timur Tengah
Pada era kekinian, upaya sportwashing banyak dikaitkan dengan regional timur tengah dan terutama lewat ekspansi bisnisnya ke industri sepak bola.
Akuisisi Manchester City oleh Sheikh Manshour melalui City Football Group dan pembelian Paris Saint-Germain (PSG) oleh Qatar Sports Investments yang diketuai Nasser Al Khelaifi adalah dua kejadian besar yang berkaitan dengan sportwashing ini.
Terlepas dari kebijakan bisnis kedua klub, pebisnis Uni Emirat Arab dan Qatar ini seakan berusaha menjadi ikon bahwa kedua negara adalah Timur Tengah yang baru yang tidak konservatif dan tidak kolot.
Sebagai salah satu pusat bisnis dunia saat ini, UEA dan Qatar terlihat mem-branding ulang dirinya melalui investasi besar-besaran ini.
Manchester City dan PSG menjadi dua tim Eropa yang melambangkan kedua negara: kuat, kaya, dan juara.
Sejak dua tahun terakhir, Arab Saudi masuk dalam percaturan sportwashing ini. Tapi, strategi awal yang dilakukan di industri sepak bola sedikit berbeda.
Arab Saudi melobi beberapa pertandingan besar seperti Piala Super Spanyol dan Piala Super Italia agar digelar di Jeddah.
Akan tetapi, hanya proposal Piala Super Spanyol yang mendapat persetujuan, meski kritik juga deras didapatkan.
Upaya ini tak hanya untuk menaikkan reputasi Arab Saudi yang kini lebih terbuka dibandingkan label sosial konservatif. Namun juga dikabarkan berusaha melawan citra publik Arab Saudi yang rusak karena kasus pembunuhan Jamal Khasoggi.
Dengan tuntutan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, serta munculnya banyak oposisi politik, Arab Saudi membutuhkan ikon besar untuk melawan hal tersebut dengan Newcastle United sebagai target.
Rumitnya halangan Pangeran Salman di Liga Inggris
Jegalan pertama yang harus dihadapi konsorsium Arab Saudi PIF adalah kasus pelanggaran hak cipta dari situs streaming ilegal yang banyak ditemui di Arab Saudi. Liga Inggris dan banyak liga Eropa lainnya yang mendapat kerugian atas hal ini.
Gelombang kritik kedua datang dari oposisi politik Arab Saudi, terlebih mereka yang menentang aksi pelanggaran HAM dalam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.
Meski tak ada hubungannya dengan industri olahraga, namun pembunuhan ini adalah skandal besar yang melibatkan Pangeran Salman secara langsung.
Terlepas dari berbagai dugaan, Mohammed bin Salman menjadi salah satu sosok yang langsung mendapatkan perhatian petinggi Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) dan juga pihak Liga Inggris.
CEO Liga Inggris, Richard Masters, dikutip dari CNN mengungkapkan seruan untuk memblokir tawaran pengambilalihan Newcastle United oleh Pangeran Salman sedang "dipertimbangkan sepenuhnya."
Beberapa pihak yang juga menentang akuisisi ini juga menyerukan Liga Inggris dan FA melakukan fit and proper test yang ketat kepada siapa saja yang ingin mengakuisisi klub Liga Inggris.
Pertimbangan utama usulan ini adalah memastikan bahwa "calon pemilik belum melakukan tindakan yang menentang yurisdiksi, menjadi tindak pidana di Inggris, bahkan jika tindakan tersebut legal di negara mereka sendiri."
Dengan kasus ini, banyak pandangan kritis kini mengarah ke pebisnis-pebisnis asing di industri sepak bola Eropa.
Kasus Financial Fair Play yang dihadapi Manchester City bisa menjegal tim serta Sheikh Manshour. Begitupun gelombang kritik atas rencana Piala Dunia 2022 di Qatar.
Mulai ketatnya industri sepak bola terkait dengan upaya sportwashing ini bisa menjadi buah simalakama pada masa depan.
Kekuatan ekonomi bisa menjadi faktor penting dalam pembangunan tim serta kompetisi. Namun di sisi lain, reputasi liga serta kompetisi juga akan dipertaruhkan jika terlalu banyak intrik politik yang diketahui publik dalam olahraga yang dicintainya.
Ikuti akun Instagram Skor Indonesia dan channel Youtube Skor Indonesia untuk suguhan konten menarik lainnya.
3 Rekomendasi Strategi Fantasy Premier League Jelang Liga Inggris Kembali Bergulir https://t.co/nSbnYrayLc— SKOR Indonesia (@skorindonesia) May 30, 2020
Berita Liga Inggris lainnya:
Daftar Lengkap Pemain Liga Inggris yang Kontraknya Habis pada Juni 2020
Kasta Ketiga dan Keempat Liga Inggris Akhiri Musim Lebih Dini