- Legenda Detroit Pistons, Isiah Thomas, tidak habis pikir dengan pernyataan Michael Jordan.
- Isiah Thomas menanggap ia dan timnya tidak pernah bermaksud bermain keras pada 1991.
- Isiah Thomas belum tahu pasti penyebab ia tidak masuk Dream Team untuk Olimpiade Barcelona 1992.
SKOR.id - Final Wilayah Timur NBA 1991 akan menjadi salah satu catatan sejarah basket dunia yang sulit dilupakan.
Konon, insiden pemain Detroit Pistons tidak mau menyalami Chicago Bulls menjadi puncak dari perseteruan dua legenda, Isiah Thomas di kubu Pistons dan Michael Jordan di Bulls.
Saat itu, Bulls menyapu bersih seluruh empat gim melawan Pistons untuk melangkah ke final NBA 1991, yang kemudian menjadi gelar pertama dari double three-peat mereka.
Publik kembali diingatkan akan kasus itu seusai menyaksikan serial dokumenter The Last Dance, utamanya di episode 3 dan 4.
Dalam episode 4 terlihat Michael Jordan menyebut apa pun yang dikatakan Isiah Thomas saat ini bukan seperti yang terjadi pada akhir gim keempat di kandang Pistons itu.
"Mungkin perspektifnya kini sudah berubah. Tapi tak ada yang bisa pengaruhi saya untuk bilang Isiah Thomas bukanlah (maaf) pria kulit hitam," kata Michael Jordan.
Pernyataan Jordan mengacu sikap Isiah Thomas dan semua pemain Pistons yang tidak mau bersalaman ditanggapi tenang oleh sang legenda.
Berita Olahraga Lainnya: Rayakan Idulfitri di Tengah Pandemi, Pelatnas Angkat Besi Tetap Physical Distancing
Dalam wawacara dengan ESPN, Sabtu (23/5/2020) lalu, Isaiah Thomas mengakui saat itu Pistons sudah menurun sementara Michael Jordan dan Chicago Bulls sebaliknya.
"Kami yang kalah maupun mereka yang menang sama-sama memiliki emosi. Jika diminta mengulang peristiwa itu, mungkin kami semuanya akan berbeda. " ucap Thomas.
"Yang bisa saya katakan saat ini, melihat tensi dan sejumlah insiden di lapangan, kami sudah menunjukkan bahwa kami tidak pernah berniat bermain (kasar)."
Thomas pun menjelaskan permainan keras Pistons sudah lumrah di NBA era 1980-an. Saat ia debut di NBA (1981), paling tidak ada tiga kekuatan di NBA.
Philadelphia 76ers bersama yang diperkuat sang bintang, Dr. J (Julius Erving), Los Angeles Lakers dengan Earvin "Magic" Johnson, dan Boston Celtics bersama Larry Bird.
Menjelang akhir 1980-an, Pistons baru berhasil merusak hegemoni ketiga klub tersebut. Tapi itu bukan proses yang mudah.
"Saat melawan Boston, kami juga sering terlibat insiden," tutur Thomas.
"Tapi, insiden dengan Boston, Bird atau pemain lain tidak lantas membuat kami menyebut mereka bermain kotor, tidak layak juara, dan sebagainya."
Pemain yang pensiun dari NBA pada 1994 itu menyebut, ia dan Pistons justru berterima kasih bisa belajar dari mereka tentang bagaimana cara untuk menang dan jadi tim hebat.
"Tim-tim seperti Boston, Philadelphia, dan Lakers mengajari kami cara untuk kompetitif di setiap laga dan menang. Serta bagaimana membentuk tim menjadi sangat solid," katanya.
Lebih lanjut Thomas menyebut, ia dan Pistons tidak pernah menuntut para pemain Boston untuk meminta maaf.
"Saya yakin mereka pun sebaliknya. Hal yang sama terjadi pada Boston dengan Lakers atau Philadelphia," ujar Thomas.
Thomas menyebut, saat itu Detroit dianggap underdog dari sisi teknis maupun psikis. Detroit dinilai kota kelas dua jika dibanding Los Angeles, Boston, atau Philadelphia.
Dengan kondisi persaingan ketat seperti itulah Pistons tumbuh menjadi tim yang sangat solid dan tangguh hingga mampu menjuarai NBA beruntun pada 1989 dan 1990.
"Jerry Krause, bos Bulls saat itu, juga meremehkan kami untuk mendongkrak mental timnya. Itu tidak masalah bagi kami," ucap Thomas.
"Memang, untuk bisa mengalahkan Pistons saat itu, tim Anda harus kuat secara mental, fisik, dan teknik. Bulls dan Jordan saat itu berhasil."
Berita Olahraga Lainnya: Conor McGregor Ungkap Empat Petarung MMA Terbaik, Posisi Puncak Bukan Miliknya
Saat tidak bersalaman usai gim keempat final Wilayah Timur NBA 1991 itu, Isiah Thomas mengaku mendapat pelajaran sangat berharga.
"Sebagai pimpinan tim dan wakil Kota Detroit, saya meminta maaf karena gagal membawa Pistons melangkah lebih jauh," ucapnya.
"Sakit sudah pasti. Tapi, satu hal yang lebih menyakitkan saya adalah saat tidak bisa masuk tim Amerika Serikat (AS) untuk Olimpiade Barcelona 1992."
Gagal menjadi anggota The Dream Team di skuad basket AS, menurut Isiah Thomas, menjadi satu-satunya noda hitam sepanjang karier basketnya.
"Banyak kontroversi mengapa saya tidak dipanggil. Hingga sekarang saya tidak tahu penyebabnya atau siapa yang menolak saya," ucapnya.
"Padahal saya memenuhi semua kriteria dan seharusnya bisa masuk."
Isiah Thomas memang memiliki semua kriteria untuk masuk timnas basket AS saat itu. Ia 12 kali terpilih All-Star, dua kali juara NBA (1989, 1990), dan MVP NBA Finals 1990.
Isiah Thomas bahkan punya rekor menang-kalah 36-29 melawan Michael Jordan, termasuk play-off (20,2 poin per gim).
Ironisnya, pelatih Pistons yang mengantar juara NBA 1989 dan 1990, Chuck Daly, justru dipercaya melatih The Dream Team untuk Olimpiade Barcelona itu.
"Kalau ada yang bilang itu karena insiden pada 1991 (dengan Michael Jordan), saya akan jauh lebih kecewa saat ini ketimbang 30 tahun lalu," ujar Isiah Thomas.